SEJARAH PENDIDIKAN DI
INDONESIA
Pendidikan di Indonesia sebelum
kemerdekaan
Pendidikan di Indonesia pada zaman
sebelum kemerdekaan dapat digolongkan ke dalam tiga periode, yaitu:Pendidikan
yang berlandaskan ajaran keagamaan, Pendidikan yang berlandaskan kepentingan
penjajahan, dan Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan
Pendidikan
yang berlandaskan ajaran keagamaan meliputi:
I. Pendidikan Hindu-Budha.
Pendidikan
pada zaman keemasan Hindu-Budha yang berlangsung antara abad ke-14 hingga abad
ke-16 masehi. Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di nusantara,
sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di
biara-biara atau pedepokan. Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan
bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengetahuan yang meliputi
sastra, bahasa, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara, dan hukum.
Kerajaan-kerajaan hindu di tanah jawa banyak melahirkan empu dan pujangga besar
yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa, itu pendidikan
mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para pemuka agama.
Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya kerajaan
Majapahit pada awal abad ke 16, dan pendidikan dengan corak Islam dalam
kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.
II. Pendidikan Islam
Pendidikan
berlandaskan ajarna Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat
India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui
kontak teratur dengan para pedagang asal
Sumatra dan Jawa. Ajaran islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir,
sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat. Didapati pendidikan agama Islam
di masa prakolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan
di pesantren, dan pendidikan di madrasah.
III. Pendidikan Katolik dan Kristen-Protestan
Pendidikan
Katolik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang menguasai
malaka. Dalam usahanya mencari rempah-rempah untuk dijual di Eropa, mereka
menyusuri pulau-pulau Ternate, Tidore, Ambon, dan Bacan. Dalam pelayarannya
itu, mereka selau disertai misionaris Katolik-Roma yang berperan ganda sebagai
penasihat spiritual dalam perjalanan yang jauh dan penyebar agama di tanah yang
didatanginya. Kemudian Belanda menyebarkan agama Kristen-Protestan dan
mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
IV. Pendidikan pada zaman VOC
Sebagaimana
bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke
-16 mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempah dengan
mendirikan VOC. Misi dagang tersebut kemusian diikkuti oleh misi penyebaran
agama terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi asrama
untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan bahasa
pengantar bahasa Belanda, dan sebagian menggunakan bahasa Melayu. Pada awal
abad ke-16, VOC mendirikan sekolah di pulau-pulau Ambon, Banda, Lontar, dan
Sangihe-Talaud. Pada periode berikutnya, didirikan pula sekolah-sekolah dengan
jenis dan tujuan yang lebih beragam. Pendirian sekolah-sekolah tersebut
terutama diarahkan untuk kepentingan mendukung misi VOC di Nusantara
V. Pendidikan pada zaman kolonila Belanda
Pudarnya
VOC pada akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda.
Sistem pendidikan diubah dengan menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan
sekolah Bumiputera. Sekolah Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan
anak-anak orang Eropa di Indonesia, sedangkan sekolah-sekolah bumiputera
tingkatan dan prestisenya lebih rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputra
yang terpilih. Mulai akhir abad ke-19 dan hingga dasawarsa awal abad ke-20,
lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangat beragam, meliputi sekolah dasar,
sekolah menengah, sekolah raja, sekolah petukangan, sekolah kejuruan,
sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah dokter,
perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik. Untuk mengimbangi
pendidikan Belanda, pada periode ini berdiri pula lembaga-lembaga pendidikan
bercorak keagamaan dan kebangsaan oleh Muhamadiyah, taman siswa, INS kayutaman,
Ma’arif dan perguruan Islam lainnya.
VI. Pendidikan pada masa pendudukan Jepang
Meskipun
singkat, berlangsung pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan
corak yang berarti pada pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa,
Jepang segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas
penggolongan menurut bangsa dan status sosialnya. Tingkat sekolah terendah
adalah Sekolah Rakyat(SR) , yang terbuka untuk semua golongnan masyarakat tanpa
membedakan status sosial dan asal-usulnya. Kelanjutannya adalah Sekolah
Menengah Pertama(SMP) selama tiga tahun, kemudian Sekolah Menengah Tinggi(SMT)
selama tiga tahun. Sekolah kejuruan juga dikembangkan, yaitu Sekolah
Pertukangan, Sekolah Menengah Teknik Menengah, Sekolah Pelayaran, dan Sekolah
Pelayaran Tinggi. Sekolah Hukum dan MOSVIA yang didirikan oleh Belanda
dihapuskan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang
didirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko)di Jakarta dan Sekolah
Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan
lain yang sangat berarti bagi
Indonesia di kemudian hari ialah bahasa
Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor
pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah bahasa Jepang. Sejak saat itu,
bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa
komunikasi ilmiah. Tujuan pendidikan pada zaman Jepang diarahkan untuk mendukung
pendudukan Jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-Cuma yang
dikenal dengan romusha.
Pendidikan
di Indonesia setelah kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan
dan pengajaran sampai dengan tahun 1945 diselenggarakan oleh Kantor Pengajaran yang terkenal dengan nama Jepang
Bunkyo Kyoku dan merupakan bagian dari kantor yang menyelenggarakan urusan
pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Segere setelah diproklamasikannya
kemerdekaan, Pemerintah Indonesia yang baru dibentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara,
sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran mulai 19 Agustus sampai dengan 14
November 1945, kemudian digantikan oleh Mr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14
November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. Tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G
Mulia digantikan oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober
1946. Karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak banyak
yang dapat diperbuat oleh para menteri
tersebut, apalagi Indonesia masih disibukkan dengan berbagai persoalan bangsa
setelah diproklamasikannya kemerdekaan.
I. Tujuan dan Kurikulum Pendidikan
Dalam
kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali
perubahan, mengikuti perubahan dalam suasana kehidupan kebangsaan kita.
Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PP&TK), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1046, tujuan pendidikan
nasional pada masa awal kemerdekaan amat menanamkan penananman jiwa
patriotisme. Hal ini dapat dipahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru
saja lepas dari penjajahan yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada
gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu,
penanaman jiwa patriotisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna
mempertahankan negara yang baru
diproklamasikan.
Sejalan
dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional
Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata-mata menekankan jiwa
patriotisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah, Bab II pasal 3 dinyatakan, ”Tujuan pendidikan dan
pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakup dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah
air”.
II. Sistem Persekolahan
Sistem
persekolahan yang berlaku di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya
melanjutkan apa yang telah dikembangkan pada zaman pendudukan Jepang. Sistem
dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.
Sistem
persekolahan tersebut terus dipertahankan dan merupakan sistem oersekolahan
yang berlaku pada zaman kemerdekaan, bahkan hingga tahun 1980-an. Hingga akhir
tahun 1960-an, kalaupun terjadi perubahan, hal ini lebih pada bentuk kelembagaannya.
Perkembangan lain yang terpenting dicatat pada era 1945-1969 ialah berrdirinya
42 Perguruan Tinggi Negeri berupa universitas, institut dan sekolah tinggi yang
umumnya terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat
dikatakan sebagai “era pertumbuhan PTN”
Pendidikan
di Indonesia Dewasa Ini
Pendidikan
mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah
pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman
selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak
dapat diramalkan sebelumnya. Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan
nasional yang mantap berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional,
serta mmapu menjawab tantangan masa kini dan masa depan, pendidikan nasional
dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada
aspek-aspek yang dipandang stategis bagi bangsa. Prioritas tersebut adalah
pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Pada
tanggal 2 Mei 1994 waib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP
dicanangkan. Sepuluh tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 2 Mei 1984,
Indonesia juga memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD. Undang-Undang RI
Nomor 2 Tahun 1989 Pasal 6 menyatakan tentang hak warga negara untuk mengikuti
pendidikan sekurang-kurangnya tamat pendidikan dasar. Kemudin PP Nomor 28 Tahun
1990 tentang Pendidikan Dasar, Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan dasar
merupakan pendidikan 9 tahun, terdiri
atas program pendidikan 6 tahun di SD dan program pendidikan 3 tahun di SLTP.
Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai dua tujuan utama yang
berkaitan satu sama lain yaitu: meningkatkan pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15 tahun dan untuk
meningkatkan mutu sumber daya Indonesia hingga mencapai SLTP.
Dengan
wajib belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia yang semula 6 tahun
ditingkatkan menjadi 9 tahun. Peningkatan lamanya wajib belajar dari 6 tahun
menjadi 9 tahun memungkinkan peserta didik untuk lebih lama belajar di sekolah.
Hal ini memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada peserta didik untuk
mendapatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menempuh studi lanjutan dan hidup di masyarakat.
Sejak
dimulai pada tahun 1994, program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator kuantitatif yang dicatat
menunjukkan bahwa angka partisipasi meningkat sejalan dengan semakin
bertambahnya ruang belajar, jumlah guru, dan fasilitas belajar lainnya.
Permasalahan
Pendidikan
Sistem
pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan
masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sisitem pendidikan tidak mempunyai
arti apa-apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat
antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sosial budaya sebagai
suprasistem tersebut di mana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan
kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu
menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu
permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan
masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu
hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat
di sekitarnya, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya di luar sistem
persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut. Berdasarkan
kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks,
menyangkut banyak komponen, dan melibatkan banyak pihak.
Pada
dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air
kita dewasa ini, yaitu: bagaimana semua warga negara dapat menikmati kesempatan
pendidikan dan bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan
keterampilan untuk terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat.
I. Masalah Pemerataan Pendidikan
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai
wahana untuk memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional
diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga
negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan
adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan,
sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia
untuk menunjang pembangunan.
Masalah pemerataan memperoleh
pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh
kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa berhitung,
membaca, dan menulis sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajuan
melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia. Dengan demikian
mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan.
Oleh karena itu, dengan melihat
tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu
menyiapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Pemecahan
Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak pemecahan masalah yang telah
dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui
cara konvensional dan cara inovatif. Cara konvensional antara lain: membangun
gedung sekolah seperti SD Inpres dan atau ruangan belajar dan menggunakan
gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore) sehubungan
dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah
membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat/keluarga yang kurang mampu agar
mau menyekolahkan anaknya.
Cara inovatif antara lain:
a) sistem
Pamong(pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau Inpacts System(Instructional
Management by Parent, Community and, Teacher). Sistem tersebut dirintis di Solo
dan didiseminasikan ke beberapa propinsi
b) SD
kecil pada daerah terpencil
c) Sistem
Guru Kunjung
d) SMP
Terbuka (ISOSA- In School Out off School Approach)
e) Kejar
Paket A dan B
f) Belajar
Jarak Jauh
II. Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika
hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu
hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen
tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika
luaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga
pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance
test). Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya.
Dengan kata lain apakah keluaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Meskipun
disadari bahwa pada hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak
semata-mata hasil dari sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika terhadap produk
seperti itu sistem pendidika dianggap mempunyai andil yang cukup, yang tetap
menjadi persoalan ialah bahwa pengukuran mutu produk tersebut tidak mudah. Berhubung
dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika seorang berbicara
tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan hasil belajar
yang dikenal sebagai hasil EBTA, Ebtanas, atau hasil Sipenmaru, UMPTN, karena
ini mudah diukur. Hasil EBTA dan lain-lain tersebut itu dipandang sebagai
gambaran tentang hasil pendidikan.
Padahal hasil belajar yang bermutu
hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika proses belajar
tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil yang bermutu. Jika
terjadi belajar yang tidak optimal menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka
hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu. Umumnya
kondisi mutu pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah
pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah
perkotaan. Acuan usaha pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem
pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala jenis dan jenjangnya di
seluruh pelosok tanah air (kota dan desa) mengalami peningkatan mutu pendidikan
sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.
Pemecahan
Masalah Mutu Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan
jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya
pemecahan masalah mutu pendidikan bersasaran pada perbaikan kualitas komponen
pendidikan serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada
gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan
pengalaman belajar peserta didik, yang akhirnya dapat meningkatkan hasil
pendidikan. Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya
meliputi hal-hal yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia, dan
manajemen.
III. Masalah Efisiensi Pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan
mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang
ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaanya hemat dan tepat sasaran
dikatakan efisiensinya tinggi. Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya
berarti rendah. Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembangan
tenaga.
Masalah pengangkatan terletak pada
kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang
sangat terbatas. Masalah penempatan guru, khsusnya guru bidang studi, sering
mengalami kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Gejala
tersebut membawa ketidakefisienan dalam memfungsikan tenaga guru, meskipun
persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan,
namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat
diangkat dan sulitnya menjaring tenaga yang bersedia ditempatkan di daerah
terpencil, karena tidak ada insentif yang menarik. Masalah pengembangan tenaga
kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong
hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian
dari para pelaksana di lapangan.
IV. Masalah Relevasi Pendidikan
Masalah relevansi pendidikan
mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti digambarkan dalam
rumusan tujuan pendidikan nasional. Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi
semua sektor pembangunan yang beraneka ragam. Baik dari segi jumlah maupun dari
segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi
semua sektor pembangunan baik yang aktual maupun yang potensial dengan memenuhi
kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan
dianggap tinggi. Umumnya luaran yang diproduksi oleh sistem pendidikan
jumlahnya secara kumulatif lebih besar daripada yang dibutuhkan di lapangan.
Permasalahan
Aktual Pendidikan di Indonesia
Masalah aktual ada yang mengenai
konsep dan ada yang mengenai pelaksanaannya. Perlu dipahami bahwa tidak semua
masalah aktual tersebut merupakan masalah baru. Bahkan ada yang sudah lama.
Sudah sejak lama masalah aktual itu kita sepakati untuk mengatasinya, tetapi
dari tahun ke tahun hasilnya tetap sama.
I. Masalah
Keutuhan Pencapaian sasaran
Dalam pelaksanaannya pendidikan
afektif belum ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan
pengembangan aspek kognitif.
II. Masalah
Kurikulum
Masalah kurikulum meliputi masalah
konsep dan masalah pelaksanaannya. Apalagi kalau kita lihat di lapangan
terdapat masalah pengembangan tenaga kependidikan yang biasanya terlambat,
khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan
kurikulum menuntut adanya penyesuaian diri para pelaksana di lapangan. Padahal
proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru memakan waktu.
Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat dicanangkan berlakunya kurikulum
dengan saat mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini
proses pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.
III. Masalah Peranan Guru
Konsep-konsep baru lahir sebagai
cerminan humanisme yang memberikan arah baru pada pendidikan. Sejalan dengan
itu perkembangan iptek yang pesat menyumbangkan cara-cara baru yang lebih
mantap terhadap pemecahan masalah pendidikan. Dalam realisasinya dipandu oleh
kurikulum yang selalu disempurnakan. Sejalan dengan itu maka guru sebagai suatu
komponen sistem pendidikan juga harus berubah.
Dahulu guru merupakan satu-satunya
sumber belajar, ia menjadi pusat
bertanya. Tugas guru memberikan ilmu pengetahuan kepada murid. Cara demikian
dipandang sudah memadai karena ilmu pengetahuan guru belum berkembang,
cakupannya masih terbatas. Dewasa ini berkat perkembangan iptek yang demikian
pesat bahkan merevolusi, bagi seorang guru tidak mungkin lagi menjadikan
dirinya gudang ilmu dan oleh karena itu juga tidak satu-satunya sumber belajar
bagi muridnya. Tugasnya bukan memberikan ilmu pengetahuan melainkan terutama
menunjukkan jalan bagaimana cara memperoleh olmu pengetahuan, dan mengembangkan
dorongan untuk berilmu. Dengan singkat dikatakan bahwa tugas guru adalah
“membelajarkan pelajar”
IV. Masalah
Pendidikan Dasar 9 Tahun
Dalam pelaksanaan pendidikan dasar 9
tahun, lebih-lebih pada tahap awal sudah pasti banyak hambatanya. Hambatan lain
berasal dari sambutan masyarakat, utamanya dari orang tua/ kalangan yang kurang
mampu. Mereka mungkin cenderung untuk tidak menyekolahkan anaknya karena harus
membiayai anaknya lebih lama. Padahal dapat berharap banyak dari anaknya untuk
segera memperoleh pekerjaan setelah tamat dari sekolah.
Sumber
Bacaan:
Abdulhak,
Ishak., Supriadi, D., Wahyudin, Dinn. 2006. Pengantar Pendidikan. Universitas
Terbuka, Jakarta.
Prof.
Dr. Umar Tirtarahardja dan Drs. S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. PT
Rineka Cipta, Jakarta.
No comments:
Post a Comment