Silahkan bagi yang ingin memasang iklan hubungi emaile pemilik di rohmanudedi@yahoo.com

Kumpulan Makalah Sejarah

Friday 25 December 2015

“POLITIK NASIONAL ADALAH POLITIK PEMBANGUNAN” Sejarah Indonesia Kontemporer


“POLITIK NASIONAL ADALAH POLITIK PEMBANGUNAN”
Sejarah Indonesia Kontemporer




Oleh Dedi Rohmanu



PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
10 April 2012


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR                                       ………………………………………..

DAFTAR ISI                                                     ………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN                                ………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN                                  ………………………………………..
A.    Pemilu 1971 sampai 1997                       ………………………………………..
B.     Kebijakan Pembangunan Bidang Ekonomi                                                                ………………………………………..
C.     P-4 Gerakan Sosial Budaya                    ………………………………………..

BAB III PENUTUP                                          ………………………………………..
A.    Daftar Pustaka                                        ………………………………………..











KATA PENGANTAR

            Penulis panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam atas segala karunia dan rahmatnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Makalah ini kami tulis untuk melakukan pengenalan tentang Perkembangan Politik dan Peristiwa-Peristiwa Penting sejak Pemilu 1971 sampai 1997, kebijakan pembangunan ekonomi orde baru, dan P-4 gerakan sosial budaya.
            Dalam penyelesaian makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, maupun susunan kalimatnya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang. Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis secara pribadi maupun pembaca umumnya.




Hormat Kami,

Dedi Rohmanu





A.  PEMILU 1971-1997

Selepas menduduki kursi kekuasaan, Presiden Soeharto kemudian mencari sebuah strategi agar kepentingan dirinya dan militer secara umum dapat terakomodir dengan sempurna. Partai-partai politik yang dianggap sebagai sumber permasalahan kemerosotan kehidupan bangsa ini kemudian diatur agar dapat dengan mudah dikendalikan, sedangkan di lain pihak Presiden Soeharto juga tidak setuju dengan adanya sistem dwi partai yang diusulkan para cendekiawan. Hal itu dikarenakan, Presiden Soeharto telah memilih Sekber Golkar untuk menjadi kendaraan bagi legitimasi kekuasaannya di Indonesia.[1]
Menjelang Pemilu tahun 1971 Sekber Golkar mampu memerankan diri sebagai simbol modernisasi dengan wacana-wacana pembangunan ekonomi dan satu-satunya alternatif untuk kemajuan Indonesia. Kekuatan sosial politik ini dipromosikan kepada masyarakat sebagai kekuatan yang lain sama sekali dari partai-partai politik yang ada. Kalau dalam Pemerintahan Orde Lama gemuruh politik sangat terasa dalam kehidupan masyarakat dan yang kedengaran setiap harinya hanya jargon-jargon politik, sementara ekonomi tidak dibenahi secara menyeluruh, maka Pemerintahan Soeharto yang menggantikannya mengubah orientasi pembangunan ke arah ekonomi. Inflasi yang mencapai 650 persen di akhir Pemerintahan Soekarno diatasi dengan berbagai cara. Isolasi politik yang dianut Pemerintah Presiden Soekarno dengan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pemutusan hubungan dengan Bank Dunia serta International Monetery Fund (IMF), dipandang oleh ahli ekonomi menjadi penyebab ekonomi dalam negeri Indonesia terlepas dari jaringan ekonomi dunia dan membuat perekonomian benar-benar terpuruk. Penderitaan itulah yang kemudian membuat banyak warga masyarakat tidak tahan terhadap situasi. Oleh karena itu, ketika pemerintahan Soeharto tampil dengan kebijakan pemulihan ekonomi, mengubah orientasi pembangunan dengan semboyan “politik no, ekonomi yes” banyak orang menyambutnya dengan gembira.[2]
Selain itu, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan yang menguntungkan Sekber Golkar, misalnya menggiring Pegawai Negeri Sipil yang tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) untuk memilih Sekber Golkar termasuk menekan aparatur desa dalam mengawal masyarakatnya demi kepentingan Sekber Golkar dll.[3] Hal ini juga terjadi di Kabupaten Kudus. Banyak PNS yang tidak bersedia memilih Golkar kemudian harus rela dikeluarkan. Begitu pula dengan kepala desa yang tidak bersedia, mengalami nasib yang tidak jauh berbeda.[4]
Di samping itu, penguasa Orde Baru Indonesia menilai partai-partai politik yang masih bertahan sampai saat itu tidak dapat dibebaskan dari keterpurukan bangsa dimasa lalu. Hal ini menyebabkan banyak dari partai politik yang dahulu dilarang semasa Demokrasi Terpimpin, dimasa Orde Baru ini tetap tidak diperbolehkan kembali tampil mengusung partainya, seperti Masyumi. Sementara itu, PNI dan NU, dua partai besar yang masih tersisa sudah kehilangan banyak basis massanya karena isu yang dilemparkan oleh Penguasa Orde Baru. Selain itu, beberapa partai peninggalan Orde Lama ini lemah karena berbagai intervensi pemerintah.[5]
Hasilnya pada Pemilihan Umum pertama tahun 1971 sejak Orde Baru berkuasa, Sekber Golkar berhasil menunjukkan dominasi politiknya atas partai-partai dengan meraup 62,8 persen suara (227 kursi), sementara NU hanya meraih 18 persen (58 kursi) dan PNI 6,93 persen suara (20 kursi).[6]
Fenomena yang luar biasa adalah semenjak Pemilu pada tahun 1971 tersebut Sekber Golkar yang kemudian berubah nama menjadi Golkar ini selalu memenangi perolehan suara disetiap Pemilu selama Orde Baru dengan perolehan suara mencapai lebih dari 50%, bahkan sering lebih dari  60 dan 70%, termasuk di banyak daerah-daerah di Indonesia.[7]
            Kemenangan Golkar pada beberapa Pemilu memperlihatkan ketangguhan Golkar pada tingkat nasional maupun tingkat lokal selama Pemerintah Orde Baru. Fakta sejarah itu sangat menarik untuk dikaji terutama pada tingkat lokal yang merupakan basis massa partai politik di tingkatan akar rumput (grass root) yang juga menjadi bagian dari kompetisi politik Golkar dengan partai-partai politik lain peserta Pemilu sepanjang Orde Baru. Salah satu daerah tersebut adalah Kabupaten Kudus. Di daerah ini, berdasarkan data dari Kantor Statistik Provinsi Jawa Tengah tahun 1971 dan Kantor Statistik Kabupaten tahun 1987 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Kudus adalah pemeluk agama Islam, yaitu mencapai 567.369 dari jumlah penduduk sebanyak 590.529 jiwa atau 96%. Hal ini menunjukkan tantangan riil Golkar dalam menghadapi potensi kekuatan politik Islam di daerah ini.[8] Menariknya, sepanjang Pemilu Orde Baru, Golkar dengan kondisi riil (ditengah tantangan potensi kekuatan politik Islam) tersebut mampu keluar sebagai pemenang dengan perolehan angka di atas 50%.[9] Selain hal itu, sebuah fakta kemenangan PKI di Kabupaten Kudus yang berhasil menduduki peringkat kedua setelah Partai NU dengan 28% suara merupakan tantangan tersendiri bagi Golkar dalam menghadapi kekuatan-kekuatan politik di tingkat lokal Kabupaten Kudus pada masa Orde Baru ini.[10] Seperti diketahui bahwa PKI adalah lawan politik Golkar pada masa Orde Lama

Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
            Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
a.       Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
b.      Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
c.       Golongan Karya (Golkar)
Pemilihan Umum
            Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
- Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
- Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
- Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
- Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).

2) Pemilu 1977
            Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.

3) Pemilu 1982
            Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.

4) Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
  • PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
  • Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
  • PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.

5) Pemilu 1992
            Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.




6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
v  Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
v  PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi
v  PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
            Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
            Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.

Peran Ganda ABRI
            Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
B. PENATAAN POLITIK LUAR NEGERI
            Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.

1) Kembali menjadi anggota PBB
            Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.

2) Normalisasi hubungan dengan beberapa negara[11]
            (1) Pemulihan hubungan dengan Singapura
            Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik.

            (2) Pemulihan hubungan dengan Malaysia
            Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
v  Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
v  Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
v  Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
v  Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara.


B.   KEHIDUPAN EKONOMI MASA ORDE BARU
            Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun.
            Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut.[12]
1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
2. Kerja Sama Luar Negeri
3. Pembangunan Nasional
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu,
1) Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
2) Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling berkaitan/berkesinambungan.
Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
a)    Pelita I
            Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
            Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.

b)   Pelita II
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
c)    Pelita III
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
*      Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
*      Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
*      Pemerataan pembagian pendapatan
*      Pemerataan kesempatan kerja
*      Pemerataan kesempatan berusaha
*      Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
*      Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
*      Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
d)   Pelita IV
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.


e)    Pelita V
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
f)    Pelita VI
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
C.  P-4 Gerakan Sosial Budaya
            Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.[13]
            Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
            Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
            Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
            Jika melihat dari motif dan pristiwa politik pada masa orde baru, maka sulit dinafikan bahwa ada the invisible hands, tangan-tangan tersembunyi yang menggerakan segala pristiwa politik yang terjadi pada masa orde baru tersebut, yaitu adanya campur tangan kelompok-kelompok jesuit dan melihat pola kerja jaringan freemasonry-illuminati the invisible hands itu kemungkinan besar adalah mereka para mason yang bekerja tanpa kasat mata mengunakan bidak-bidak kelompok anti-islam di Indonesia. Kelompok tersebut di bantu kalangan sekular dan konglomerat dari etnis china kemudian berkumpul dalam wadah Centre For Strategic And International Studies ( CSIS ), sebuah organisasi yang menjadi tink tank orde baru yang di dirikan 1 september 1971, CSIS kemudian menjadi kelompok yang sangat mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi orde baru dengan master plan pembangunannya yang sangat menguntungkan pemerintahan (Golkar) dan konglomerat, karena itu tak heran jika masa kekuasaan soeharto, corak kebatinan dan kejawen dalam pemerintahan begitu mencolok, pancasila di tafsirkan menurut kepercayaan kejawen, dan aliran kepercayaan berusaha di masukan ke dalam GBHN.
            Melalui para penganut kejawen yang ada di lingkar elit kekuasaan soeharto ini lah, kemudian di gulirkan doktrin pedoman, penghayatan, dan pengamalan pancasila ( P4 ) yang di paksakan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, mata pelajaran pendidikan moral pancasila ( PMP ) di wajibkan sebagai pengganti pelajaran agama, usulan ini di gulir oleh komite pekerja MPR yang di pimpin oleh daryatmo dengan ketetapan MPR nomor : II/MPR/1978 tentang pedoman, penghayatan, dan pengamalan pancasila ( EKAPRASETIA PANCAKARSA). Orde Baru diperkuat dalam dokumen politik yang dikenal sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai produk ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lembaga tertinggi negara menurut UUD 1945 ketika itu. Besarnya kepentingan rejim kekuasaan terhadap “pendidikan kewarganegaraan” model PMP tersebut, mengakibatkan terjadinya reduksionisme misi mata kajian itu dalam kerangka membentuk warga negara yang baik. Reduksi itu nampak ketika pendidikan Pancasila yang dieksplisitkan dengan label PMP, seakan-akan menjadi mata pelajaran satu-satunya bidang studi yang harus bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter warga negara, khususnya kepada generasi muda.
            Masa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat dapat digambarkan dari berbagai sisi. Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% setiap tahun. Dalam tahun tahun awal 1990-an angka tadi dapat diturunkan menjadi sekitar 1,6% setiap tahun. Jika awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata sekitar 50 tahun maka pada tahun 1990-an harapan hidup lebih dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama angka kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Hal ini antara lain dimungkinkan makin meningkatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sebagai contoh adanya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu sampai di tingkat desa atau RT.
            Dalam himpunan Tap MPR Tahun 1993 di bidang pendidikan, fasilitas pendidikan dasar sudah makin merata. Pada tahun 1968 fasilitas sekolah dasar yang ada hanya dapat menampung sekitar 41% dari seluruh anak yang berumur sekolah dasar. Fasilitas sekolah dasar yang telah dibangun di pelosok tanah air praktis mampu menampung anak Indonesia yang berusia sekolah dasar. Kondisi ini merupakan landasan kuat menuju pelaksanan wajib belajar 9 tahun di tahun-tahun yang akan datang. Sementara itu, jumlah rakyat yang masih buta huruf telah menurun dari 39% dalam tahun 1971 menjadi sekitar 17% di tahuan1990-an.
            Dampak dari pemerataan pendidikan juga terlihat dari meningkatnya tingkat pendidikan angkatan kerja. Dalam tahun 1971 hampir 43% dari seluruh angkatan kerja tidak atau belum pernah sekolah. Pada tahun 1990-an jumlah yang tidak atau belum pernah sekolah menurun menjadi sekitar 17%. Dalam kurun waktu yang sama angkatan kerja yang berpendidikan SMTA ke atas adalah meningkat dari 2,8% dari seluruh angkatan kerja menjadi hampir 15%. Peningkatan mutu angkatan kerja akan mempunyai dampak yang luas bagi laju pembangunan di waktui-waktu yang akan datang.
            Kebinekaan Indonesia dari berbagai hal (suku, agama, ras, budaya, antar golongan dsb.) yang mempunyai peluang yang tinggi akan terjadinya konflik, maka masa Orde Baru memunculkan kebijakan yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan terhadap dasar negara Pancasila. Berdasarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 ditetapkan tentang P-4 yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Parasetia Pancakarsa). Dengan Pancasila akan dapat memberikan kekuatan, jiwa kepada bangsa Indonesia serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir dan batin yang makin baik menuju masyarakat yang adil dan makmur. Dengan penghayatan terhadap Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Karena itulah diperlukan suatu pedoman yang dapat menjadi penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap orang Indonesia. Untuk melaksanakan semua ini dilakukanlah penataran-penataran baik melalui cara-cara formal, maupun non-formal sehingga di tradisikan sebagai gerakan Budaya.












Daftar Pustaka
*    Bandoro, Bantoro. 1994. Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orba. Jakarta: Inti Idayu Pers.
Ø Sejarah Indonesia. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia, pada tanggal 10 April 2012.
·        Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa, Industri Rokok Kudus, (Jakarta, Sinar Harapan, 1982), Lamp 1, hlm 182
v Kompas, 21 April 1970


[1] Suryadinata, op.cit. dikemukakan bahwa Jendral Soeharto memilih Sekber Golkar sebagai alat politik yang utama. Bahwa ia tidak mungkin menggunakan partai-partai warisan orde lama untuk mewakili kepentingan militer sepenuhnya.
[2] Patmono, op.cit, hlm. 22-23.

[3] “Monoloyalitas Korpri Kepada Pemerintah”,  (Kompas, 21 Sepetember 1995, hlm. 1), “Sekjen Korpri: Korpri harus Pilih Golkar (Kompas, 23 September 1995, hlm. 1), “Tak Pilih Golkar, Keluar dari Korpri” (Kompas, 5 Oktober 1995, hlm. 1).
[4] Wawancara dengan Ali Achmadi, Subandi, Sudarmaji, op.cit. dan wawancara dengan Kayanto, mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tanggal 24 Maret 2009.

[5] Kompas, 21 April 1970 memberitakan bahwa Hadisubeno (Ketua Umum terpilih) dapat terpilih karena “opsus” serta adanya intervensi pihak luar. Presiden Soeharto yang memberikan sambutan pada pembukaan kongres di Semarang itu mengingatkan pada partai-partai khususnya PNI bahwa ia tidak akan membiarkan partai politik manapun menghalangi pelaksanaan tugas-tugas nasional, khususnya pembangunan (Kompas, 13 April 1970). Suryadinata, op.cit, hlm. 28, Patmono, op.cit, hlm. 28. Wujud intervensi pemerintah biasanya adalah dalam hal pemilihan tokoh-tokoh yang akan memimpin partai-partai ini. Beberapa tokoh yang sudah terpilih dalam mekanisme resmi partai seperti kongres, musyawarah nasional atau muktamar dibatalkan karena tidak mendapat restu dari pemerintah orde baru, misalnya Mohammad Roem yang terpilih sebagai pimpinan partai dari Parmusi karena dianggap memiliki sejarah buruk dengan Masyumi, dibatalkan oleh pemerintah digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Hal ini dilakukan dengan tujuan menanamkan tokoh-tokoh yang pro pemerintah dan dengan demikian memperlemah basis partai. Hal serupa juga dilakukan Pemerintah terhadap Partai Nasional Indonesia (PNI). Dalam kongres di Semarang, pemerintah melakukan intervensi dalam pemilihan ketua umum sehingga tokoh yang dikehendaki partai tidak dapat tampil, dan terpaksa mencari orang yang dianggap dapat diterima oleh pemerintah. Kenyataan seperti itu berlanjut terus, bahkan merambah ke ormas-ormas. Banyak ormas yang selalu meminta restu pada pemerintah disetiap momen-momen penting, walaupun dalam hal ini pemerintah melalui Menlu Adam Malik menyalahkan mereka, (Kompas, 20 November 1970).

[6] Kompas, 9 Agustus 1971, Hasil Resmi Pemilihan Umum 3 Juli 1971, Golkar 227 Kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 24, PNI 20, hlm 1.

[7] Pemilu 1971, Kompas, 9 Agustus 1971, Pemilu 1977, Kompas, 9 Juni 1977, Pemilu 1982, Kompas, 13 Mei 1982, Pemilu 1987, 1992, 1997, Kompas, 6 Juni 1997. Selama masa orde baru ini masyarakat Indonesia mengikuti pemilu selama enam kali yang semuanya dimenangi oleh Golkar, (Ricklefs, op.cit, hlm. 585 untuk pemilu tahun 1971, hlm. 595 untuk pemilu 1977, hlm. 607 untuk pemilu 1982, hlm. 617 untuk pemilu 1987, hlm. 638 untuk pemilu 1992, dan 650 untuk pemilu 1997).

[8] Kudus dalam angka 1987, Kantor Statistik Kabupaten Kudus.

[9] Suara Merdeka, 6 Juli 1971, Arsip DPD II Golkar Kudus, Golkar Kudus dalam Angka 1971-1977-1982, DPD II Golkar Kudus, Perbandingan Pemilu 1987-1992 Kabupaten Kudus, Hasil Tetap Pemungutan Suara Pemilu1997,  Anggota DPR RI, DPRD I, DPRD II Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus.
[10] Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa, Industri Rokok Kudus, (Jakarta, Sinar Harapan, 1982), Lamp 1, hlm 182.
                [11] Bandoro, Bantoro. 1994. Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orba. Jakarta: Inti Idayu Pers.
                [12] Notosusanto, Nugroho. 1979. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Offset Bumirestu
                [13] Sejarah Indonesia. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia pada tanggal 10 April 2012.

No comments:

Post a Comment