“POLITIK NASIONAL ADALAH POLITIK PEMBANGUNAN”
Sejarah Indonesia Kontemporer
Oleh Dedi Rohmanu
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
10 April
2012
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ………………………………………..
DAFTAR
ISI ………………………………………..
BAB
I PENDAHULUAN ………………………………………..
BAB
II PEMBAHASAN ………………………………………..
A.
Pemilu 1971 sampai 1997 ………………………………………..
B.
Kebijakan Pembangunan
Bidang Ekonomi ………………………………………..
C.
P-4 Gerakan Sosial
Budaya ………………………………………..
BAB
III PENUTUP ………………………………………..
A.
Daftar Pustaka ………………………………………..
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puja dan puji
syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam atas segala karunia dan
rahmatnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Salawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Makalah ini kami
tulis untuk melakukan pengenalan tentang Perkembangan Politik dan
Peristiwa-Peristiwa Penting sejak Pemilu 1971 sampai 1997, kebijakan
pembangunan ekonomi orde baru, dan P-4 gerakan sosial budaya.
Dalam penyelesaian makalah ini
penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, maupun
susunan kalimatnya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis secara
pribadi maupun pembaca umumnya.
Hormat Kami,
Dedi
Rohmanu
A. PEMILU 1971-1997
Selepas
menduduki kursi kekuasaan, Presiden Soeharto kemudian mencari sebuah strategi
agar kepentingan dirinya dan militer secara umum dapat terakomodir dengan
sempurna. Partai-partai politik yang dianggap sebagai sumber permasalahan
kemerosotan kehidupan bangsa ini kemudian diatur agar dapat dengan mudah
dikendalikan, sedangkan di lain pihak Presiden Soeharto juga tidak setuju
dengan adanya sistem dwi partai yang diusulkan para cendekiawan. Hal itu
dikarenakan, Presiden Soeharto telah memilih Sekber Golkar untuk menjadi
kendaraan bagi legitimasi kekuasaannya di Indonesia.[1]
Menjelang
Pemilu tahun 1971 Sekber Golkar mampu memerankan diri sebagai simbol
modernisasi dengan wacana-wacana pembangunan ekonomi dan satu-satunya
alternatif untuk kemajuan Indonesia. Kekuatan sosial politik ini dipromosikan
kepada masyarakat sebagai kekuatan yang lain sama sekali dari partai-partai
politik yang ada. Kalau dalam Pemerintahan Orde Lama gemuruh politik sangat
terasa dalam kehidupan masyarakat dan yang kedengaran setiap harinya hanya
jargon-jargon politik, sementara ekonomi tidak dibenahi secara menyeluruh, maka
Pemerintahan Soeharto yang menggantikannya mengubah orientasi pembangunan ke
arah ekonomi. Inflasi yang mencapai 650 persen di akhir Pemerintahan Soekarno
diatasi dengan berbagai cara. Isolasi politik yang dianut Pemerintah Presiden
Soekarno dengan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pemutusan
hubungan dengan Bank Dunia serta International Monetery Fund (IMF),
dipandang oleh ahli ekonomi menjadi penyebab ekonomi dalam negeri Indonesia
terlepas dari jaringan ekonomi dunia dan membuat perekonomian benar-benar
terpuruk. Penderitaan itulah yang kemudian membuat banyak warga masyarakat
tidak tahan terhadap situasi. Oleh karena itu, ketika pemerintahan Soeharto
tampil dengan kebijakan pemulihan ekonomi, mengubah orientasi pembangunan
dengan semboyan “politik no, ekonomi yes” banyak orang menyambutnya dengan
gembira.[2]
Selain itu,
pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan yang menguntungkan Sekber Golkar,
misalnya menggiring Pegawai Negeri Sipil yang tergabung dalam Korps Pegawai
Republik Indonesia (Korpri) untuk memilih Sekber Golkar termasuk menekan
aparatur desa dalam mengawal masyarakatnya demi kepentingan Sekber Golkar dll.[3] Hal ini juga terjadi di Kabupaten
Kudus. Banyak PNS yang tidak bersedia memilih Golkar kemudian harus rela
dikeluarkan. Begitu pula dengan kepala desa yang tidak bersedia, mengalami
nasib yang tidak jauh berbeda.[4]
Di samping itu,
penguasa Orde Baru Indonesia menilai partai-partai politik yang masih bertahan
sampai saat itu tidak dapat dibebaskan dari keterpurukan bangsa dimasa lalu.
Hal ini menyebabkan banyak dari partai politik yang dahulu dilarang semasa
Demokrasi Terpimpin, dimasa Orde Baru ini tetap tidak diperbolehkan kembali
tampil mengusung partainya, seperti Masyumi. Sementara itu, PNI dan NU, dua
partai besar yang masih tersisa sudah kehilangan banyak basis massanya karena
isu yang dilemparkan oleh Penguasa Orde Baru. Selain itu, beberapa partai
peninggalan Orde Lama ini lemah karena berbagai intervensi pemerintah.[5]
Hasilnya pada
Pemilihan Umum pertama tahun 1971 sejak Orde Baru berkuasa, Sekber Golkar
berhasil menunjukkan dominasi politiknya atas partai-partai dengan meraup 62,8
persen suara (227 kursi), sementara NU hanya meraih 18 persen (58 kursi) dan
PNI 6,93 persen suara (20 kursi).[6]
Fenomena yang
luar biasa adalah semenjak Pemilu pada tahun 1971 tersebut Sekber Golkar yang
kemudian berubah nama menjadi Golkar ini selalu memenangi perolehan suara
disetiap Pemilu selama Orde Baru dengan perolehan suara mencapai lebih dari
50%, bahkan sering lebih dari 60 dan
70%, termasuk di banyak daerah-daerah di Indonesia.[7]
Kemenangan
Golkar pada beberapa Pemilu memperlihatkan ketangguhan Golkar pada tingkat
nasional maupun tingkat lokal selama Pemerintah Orde Baru. Fakta sejarah itu
sangat menarik untuk dikaji terutama pada tingkat lokal yang merupakan basis
massa partai politik di tingkatan akar rumput (grass root) yang juga
menjadi bagian dari kompetisi politik Golkar dengan partai-partai politik lain
peserta Pemilu sepanjang Orde Baru. Salah satu daerah tersebut adalah Kabupaten
Kudus. Di daerah ini, berdasarkan data dari Kantor Statistik Provinsi Jawa
Tengah tahun 1971 dan Kantor Statistik Kabupaten tahun 1987 menunjukkan bahwa
mayoritas penduduk Kabupaten Kudus adalah pemeluk agama Islam, yaitu mencapai
567.369 dari jumlah penduduk sebanyak 590.529 jiwa atau 96%. Hal ini menunjukkan
tantangan riil Golkar dalam menghadapi potensi kekuatan politik Islam di daerah
ini.[8] Menariknya, sepanjang Pemilu Orde
Baru, Golkar dengan kondisi riil (ditengah tantangan potensi kekuatan politik
Islam) tersebut mampu keluar sebagai pemenang dengan perolehan angka di atas
50%.[9] Selain hal itu, sebuah fakta
kemenangan PKI di Kabupaten Kudus yang berhasil menduduki peringkat kedua
setelah Partai NU dengan 28% suara merupakan tantangan tersendiri bagi Golkar
dalam menghadapi kekuatan-kekuatan politik di tingkat lokal Kabupaten Kudus
pada masa Orde Baru ini.[10]
Seperti diketahui bahwa PKI adalah lawan politik Golkar pada masa Orde Lama
Penyederhanaan dan Pengelompokan
Partai Politik
Setelah
pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti
menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah
partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi
tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan
sosial-politik, yaitu :
a.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan
pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
b.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI),
merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
(kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
c.
Golongan Karya (Golkar)
Pemilihan Umum
Selama masa
Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang
diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
- Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu
1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari
partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
- Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol
yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
- Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih
460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
- Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai
Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin
Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen
Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi),
Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).
2) Pemilu 1977
Sebelum
dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975
yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa
terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977
yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi
untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3) Pemilu 1982
Pelaksanaan
Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara
nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di
Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP.
Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5
kursi.
4) Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987.
Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
- PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
- Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
- PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu
tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang
cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282
kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
v Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara
mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
v PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 %
dengan perolehan kursi 27 kursi
v PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya
mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan
terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan
Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan
dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Kenyataannya
pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar)
yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu
mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan
suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap
Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
Peran Ganda ABRI
Guna
menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi
ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan
Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah
tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan
adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan
pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator
dan dinamisator.
B. PENATAAN POLITIK LUAR NEGERI
Pada masa
Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada jalurnya
yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR mengeluarkan
sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Dimana
politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti
permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.
1) Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia
kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang
pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada
tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi
anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab
kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini
dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia
selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi
akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah
negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan
ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun
1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan
hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia,
dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi
Orde Lama.
2) Normalisasi hubungan dengan beberapa negara[11]
(1)
Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum
pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan
Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar).
Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura
pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew.
Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk
mengadakan hubungan diplomatik.
(2)
Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi
hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok
pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
v Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan
yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
v Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan
diplomatik.
v Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan
dihentikan.
v Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia
oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus
1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini
dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara.
B. KEHIDUPAN EKONOMI MASA ORDE BARU
Pada masa
Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh
kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi
swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada
usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat
inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun
1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun.
Hal itu
menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan
pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut.[12]
1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
2. Kerja Sama Luar Negeri
3. Pembangunan Nasional
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara
bertahap yaitu,
1) Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
2) Jangka pendek mencakup periode 5 tahun
(Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan
jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling
berkaitan/berkesinambungan.
Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
a)
Pelita I
Dilaksanakan
pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan
Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana,
perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai
dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan
bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil
pertanian.
Muncul
peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16
Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.
Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut
Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang
Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan
pembakaran barang-barang buatan Jepang.
b)
Pelita II
Dilaksanakan
pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah
tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan
rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil
pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan
Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun
menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi
9,5%.
c)
Pelita III
Dilaksanakan
pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih
berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
Pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Pemerataan pembagian pendapatan
Pemerataan kesempatan kerja
Pemerataan kesempatan berusaha
Pemerataan kesempatan berpartisipasi
dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
Pemerataan penyebaran pembagunan di
seluruh wilayah tanah air
Pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan.
d)
Pelita IV
Dilaksanakan
pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor
pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang
berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan
kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat
dipertahankan.
e)
Pelita V
Dilaksanakan
pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor
pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan
pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik
dibanding sebelumnya.
f)
Pelita VI
Dilaksanakan
pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada
pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian
serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan.
Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam
negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
C. P-4 Gerakan Sosial Budaya
Pada
tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia
Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam
sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal
sebagai P4.[13]
Guna
mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari
penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila
sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional
akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan
Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh
pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada
tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas
tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga
Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem
sosial masyarakat Indonesia.
Jika
melihat dari motif dan pristiwa politik pada masa orde baru, maka sulit dinafikan
bahwa ada the invisible hands, tangan-tangan tersembunyi yang menggerakan
segala pristiwa politik yang terjadi pada masa orde baru tersebut, yaitu adanya
campur tangan kelompok-kelompok jesuit dan melihat pola kerja jaringan
freemasonry-illuminati the invisible hands itu kemungkinan besar adalah mereka
para mason yang bekerja tanpa kasat mata mengunakan bidak-bidak kelompok
anti-islam di Indonesia. Kelompok tersebut di bantu kalangan sekular dan
konglomerat dari etnis china kemudian berkumpul dalam wadah Centre For
Strategic And International Studies ( CSIS ), sebuah organisasi yang menjadi
tink tank orde baru yang di dirikan 1 september 1971, CSIS kemudian menjadi
kelompok yang sangat mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi orde baru
dengan master plan pembangunannya yang sangat menguntungkan pemerintahan
(Golkar) dan konglomerat, karena itu tak heran jika masa kekuasaan soeharto,
corak kebatinan dan kejawen dalam pemerintahan begitu mencolok, pancasila di
tafsirkan menurut kepercayaan kejawen, dan aliran kepercayaan berusaha di
masukan ke dalam GBHN.
Melalui
para penganut kejawen yang ada di lingkar elit kekuasaan soeharto ini lah,
kemudian di gulirkan doktrin pedoman, penghayatan, dan pengamalan pancasila (
P4 ) yang di paksakan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, mata pelajaran
pendidikan moral pancasila ( PMP ) di wajibkan sebagai pengganti pelajaran
agama, usulan ini di gulir oleh komite pekerja MPR yang di pimpin oleh daryatmo
dengan ketetapan MPR nomor : II/MPR/1978 tentang pedoman, penghayatan, dan
pengamalan pancasila ( EKAPRASETIA PANCAKARSA). Orde Baru diperkuat dalam
dokumen politik yang dikenal sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai
produk ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lembaga tertinggi negara
menurut UUD 1945 ketika itu. Besarnya kepentingan rejim kekuasaan terhadap
“pendidikan kewarganegaraan” model PMP tersebut, mengakibatkan terjadinya
reduksionisme misi mata kajian itu dalam kerangka membentuk warga negara yang
baik. Reduksi itu nampak ketika pendidikan Pancasila yang dieksplisitkan dengan
label PMP, seakan-akan menjadi mata pelajaran satu-satunya bidang studi yang
harus bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter warga negara, khususnya
kepada generasi muda.
Masa Orde
Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses untuk mewujudkan
cita-cita nasional. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat dapat digambarkan
dari berbagai sisi. Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai
2,3% setiap tahun. Dalam tahun tahun awal 1990-an angka tadi dapat diturunkan
menjadi sekitar 1,6% setiap tahun. Jika awal tahun 1970-an penduduk Indonesia
mempunyai harapan hidup rata-rata sekitar 50 tahun maka pada tahun 1990-an
harapan hidup lebih dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama angka kematian
bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap
1000 kelahiran hidup. Hal ini antara lain dimungkinkan makin meningkatnya
pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sebagai contoh adanya Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu sampai di tingkat desa atau
RT.
Dalam
himpunan Tap MPR Tahun 1993 di bidang pendidikan, fasilitas pendidikan dasar
sudah makin merata. Pada tahun 1968 fasilitas sekolah dasar yang ada hanya dapat
menampung sekitar 41% dari seluruh anak yang berumur sekolah dasar. Fasilitas
sekolah dasar yang telah dibangun di pelosok tanah air praktis mampu menampung
anak Indonesia yang berusia sekolah dasar. Kondisi ini merupakan landasan kuat
menuju pelaksanan wajib belajar 9 tahun di tahun-tahun yang akan datang.
Sementara itu, jumlah rakyat yang masih buta huruf telah menurun dari 39% dalam
tahun 1971 menjadi sekitar 17% di tahuan1990-an.
Dampak dari
pemerataan pendidikan juga terlihat dari meningkatnya tingkat pendidikan
angkatan kerja. Dalam tahun 1971 hampir 43% dari seluruh angkatan kerja tidak
atau belum pernah sekolah. Pada tahun 1990-an jumlah yang tidak atau belum
pernah sekolah menurun menjadi sekitar 17%. Dalam kurun waktu yang sama
angkatan kerja yang berpendidikan SMTA ke atas adalah meningkat dari 2,8% dari
seluruh angkatan kerja menjadi hampir 15%. Peningkatan mutu angkatan kerja akan
mempunyai dampak yang luas bagi laju pembangunan di waktui-waktu yang akan
datang.
Kebinekaan
Indonesia dari berbagai hal (suku, agama, ras, budaya, antar golongan dsb.)
yang mempunyai peluang yang tinggi akan terjadinya konflik, maka masa Orde Baru
memunculkan kebijakan yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan terhadap
dasar negara Pancasila. Berdasarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 ditetapkan
tentang P-4 yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Parasetia
Pancakarsa). Dengan Pancasila akan dapat memberikan kekuatan, jiwa kepada
bangsa Indonesia serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir dan batin yang
makin baik menuju masyarakat yang adil dan makmur. Dengan penghayatan terhadap
Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam
kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Karena itulah diperlukan suatu pedoman
yang dapat menjadi penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku
setiap orang Indonesia. Untuk melaksanakan semua ini dilakukanlah
penataran-penataran baik melalui cara-cara formal, maupun non-formal sehingga
di tradisikan sebagai gerakan Budaya.
Daftar Pustaka
Bandoro, Bantoro. 1994. Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orba.
Jakarta: Inti Idayu Pers.
Ø Sejarah Indonesia. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia,
pada tanggal 10 April 2012.
·
Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di
Jawa, Industri Rokok Kudus, (Jakarta, Sinar Harapan, 1982), Lamp 1, hlm 182
v Kompas, 21 April 1970
[1] Suryadinata, op.cit. dikemukakan bahwa Jendral Soeharto memilih Sekber
Golkar sebagai alat politik yang utama. Bahwa ia tidak mungkin menggunakan
partai-partai warisan orde lama untuk mewakili kepentingan militer sepenuhnya.
[2] Patmono, op.cit, hlm. 22-23.
[3] “Monoloyalitas Korpri Kepada Pemerintah”,
(Kompas, 21 Sepetember 1995, hlm. 1), “Sekjen Korpri: Korpri harus Pilih
Golkar (Kompas, 23 September 1995, hlm. 1), “Tak Pilih Golkar, Keluar dari
Korpri” (Kompas, 5 Oktober 1995, hlm. 1).
[4] Wawancara dengan Ali Achmadi, Subandi, Sudarmaji, op.cit. dan wawancara
dengan Kayanto, mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tanggal 24 Maret 2009.
[5] Kompas, 21 April 1970 memberitakan bahwa Hadisubeno (Ketua Umum terpilih)
dapat terpilih karena “opsus” serta adanya intervensi pihak luar. Presiden
Soeharto yang memberikan sambutan pada pembukaan kongres di Semarang itu
mengingatkan pada partai-partai khususnya PNI bahwa ia tidak akan membiarkan
partai politik manapun menghalangi pelaksanaan tugas-tugas nasional, khususnya
pembangunan (Kompas, 13 April 1970). Suryadinata, op.cit, hlm. 28, Patmono,
op.cit, hlm. 28. Wujud intervensi pemerintah biasanya adalah dalam hal
pemilihan tokoh-tokoh yang akan memimpin partai-partai ini. Beberapa tokoh yang
sudah terpilih dalam mekanisme resmi partai seperti kongres, musyawarah
nasional atau muktamar dibatalkan karena tidak mendapat restu dari pemerintah
orde baru, misalnya Mohammad Roem yang terpilih sebagai pimpinan partai dari
Parmusi karena dianggap memiliki sejarah buruk dengan Masyumi, dibatalkan oleh
pemerintah digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun sebagai Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal. Hal ini dilakukan dengan tujuan menanamkan
tokoh-tokoh yang pro pemerintah dan dengan demikian memperlemah basis partai. Hal
serupa juga dilakukan Pemerintah terhadap Partai Nasional Indonesia (PNI).
Dalam kongres di Semarang, pemerintah melakukan intervensi dalam pemilihan
ketua umum sehingga tokoh yang dikehendaki partai tidak dapat tampil, dan
terpaksa mencari orang yang dianggap dapat diterima oleh pemerintah. Kenyataan
seperti itu berlanjut terus, bahkan merambah ke ormas-ormas. Banyak ormas yang
selalu meminta restu pada pemerintah disetiap momen-momen penting, walaupun
dalam hal ini pemerintah melalui Menlu Adam Malik menyalahkan mereka, (Kompas,
20 November 1970).
[6] Kompas, 9 Agustus 1971, Hasil Resmi Pemilihan Umum 3 Juli 1971, Golkar
227 Kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 24, PNI 20, hlm 1.
[7] Pemilu 1971, Kompas, 9 Agustus 1971, Pemilu 1977, Kompas, 9 Juni 1977,
Pemilu 1982, Kompas, 13 Mei 1982, Pemilu 1987, 1992, 1997, Kompas, 6 Juni 1997.
Selama masa orde baru ini masyarakat Indonesia mengikuti pemilu selama enam
kali yang semuanya dimenangi oleh Golkar, (Ricklefs, op.cit, hlm. 585 untuk
pemilu tahun 1971, hlm. 595 untuk pemilu 1977, hlm. 607 untuk pemilu 1982, hlm.
617 untuk pemilu 1987, hlm. 638 untuk pemilu 1992, dan 650 untuk pemilu 1997).
[8] Kudus dalam angka 1987, Kantor Statistik Kabupaten Kudus.
[9] Suara Merdeka, 6 Juli 1971, Arsip DPD II
Golkar Kudus, Golkar Kudus dalam Angka 1971-1977-1982, DPD II Golkar
Kudus, Perbandingan Pemilu 1987-1992 Kabupaten Kudus, Hasil Tetap Pemungutan
Suara Pemilu1997, Anggota DPR RI, DPRD
I, DPRD II Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus.
[10] Lance Castles, Tingkah Laku
Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa, Industri Rokok Kudus, (Jakarta, Sinar
Harapan, 1982), Lamp 1, hlm 182.
No comments:
Post a Comment