PERANG
ARAB-ISRAEL (PERANG ENAM HARI)
Perang Enam Hari (bahasa Ibrani: מלחמת
ששת הימים Milkhemet Sheshet HaYamim, bahasa Arab: حرب الأيام الستة ħarb
al-'ayyam as-sittah), juga dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan
peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir,
Yordania, dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak,
Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132
jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang
berlangsung enam hari penuh.
Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir
mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika
itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh invasi
atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank
dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk
menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab
lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan
serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya
invasi oleh Mesir.[3] Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan
Netanya.[4][5][6] Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur
Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari
perang ini memengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.
Akibat
Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956
Nasser (Mesir), didukung oleh
negara-negara Arab lainnya dengan tegas menendang Israel masuk ke laut. Gambar
pra 1967. Surat kabar Al-Farida, Libanon.
Perang ini
disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang
Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956,
walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik
dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari
Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan
pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas
tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel,
sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.
Perang tahun 1956 menyebabkan
kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi
tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada
negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu
dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an
sebagai bagian dari "perang pembebasan rakyat", dalam rangka untuk
mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath.[7] Selain itu,
negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang
sasaran-sasaran Israel.
Pengangkut
Air Nasional Israel
Pada tahun 1964, Israel telah mulai
mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya.
Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat "Rencana
Pengalihan Air". Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan
air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan
mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta
mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan
mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak
35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.
Angkatan
Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan
Maret, Mei, dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut
di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa
lainnya yang nantinya akan memulai perang. [8]
Israel
dan Yordania: Peristiwa Samu
Pada tanggal 12 November 1966,
seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya
3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau
tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13
November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia
dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan
perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa
Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania.[9] Walaupun begitu, pada
pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa "dengan alasan 'balas dendam
terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.', Pasukan Israel menyerang Es Samu,
sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan
pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari
Suriah".[10]
Dalam "Operasi Shredder",
operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi
Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan
pesawat tempur ini dibagi kedalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di
bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyebrang ke Tepi
Barat yang dikuasai Yordania.
Pasukan yang lebih besar, delapan
tank Centurion diikuti dengan 400 pasukan lintas udara yang dimuatkan kedalam
40 truk dan 60 insinyur militer dalam 10 truk menuju kearah Samu, sementara
sejumlah pasukan kecil yang terdiri daripada tiga tank dan 100 pasukan payung
terjun dan insinyur militer yang menuju ke dua desa yang lebih kecil, Kirbet
El-Markas dan Kirbet Jimba, dalam satu misi untuk mengebom rumah-rumah. Di
Samu, tentara Israel menghancurkan satu-satunya klinik di desa, satu sekolah
perempuan, pejabat pos, perpustakaan, satu kedai kopi dan sekitar 140 buah
rumah. Laporan berbeda mengenai peristiwa ini telah dibuat yang merujuk kepada
buku Terrence Prittie, Eshkol: The Man and the Nation dimana menyatakan 50
rumah telah diledakan tetapi penghuni-penghuni rumah tersebut telah dipindahkan
beberapa jam sebelumnya. Batalion Infantri tentara Yordania ke-48, yang
diarahkan oleh Mayor Asad Ghanma, bergerak menuju ke arah tentara Israel di
barat laut Samu dan dua kompeni yang bergerak menuju timur laut telah diserang
oleh Israel, ketika satu pleton Yordania yang bersenjatakan dua meriam 106 mm
memasuki Samu. Dalam pertempuran, tiga orang sipil Yordania dan 15 tentara
tewas, 54 tentara lain dan 96 orang sipil cedera. Letnan kolonel batalion
pasukan lintas udara Israel, Kolonel Yoav Shaham, tewas dan sepuluh tentara
lainnya cedera.[11][12] Merujuk kepada data pemerintah Israel, lima puluh
tentara Jordan tewas namun jumlah sebenarnya telah dirahasiakan demi menjaga
moral dan keyakinan pada rezim Raja Hussein.[13]
Dua hari kemudian dalam satu memo
kepada Presiden Johnson, asisten khususnya Walt Rostow menulis "tindakan
balas dendam bukan inti kasus ini. Serangan 3000 orang dengan tank dan
pesawat-pesawat ini terlalu berlebihan terhadap provokasi yang terjadi, dan
diarahkan kepada sasaran yang salah" dan kemudian menggambarkan kerusakan
terhadap kepentingan Amerika Serikat dan Israel: "Mereka telah memusnahkan
sistem kerjasama yang bagus di antara Hussein dan pihak Israel... Mereka telah
menghianati Hussein. Kita telah mengeluarkan $500 juta untuk membinanya sebagai
salah satu faktor kestabilan pada perbatasan terpanjang Israel dan terhadap
Suriah dan Irak. Serangan Israel meningkatkan tekanan terhadap Hussein untuk
menyerang balik, tidak hanya dari negara-negara Arab yang radikal dan orang
Palestina di Yordania, tetapi juga dari angkatan darat, yang merupakan sumber
dukungan utamanya, dan mungkin sekarang memaksa untuk mendapatkan kesempatan
membalas kekalahan pada hari Minggu... Israel telah merusak kemajuan menuju
adanya akomodasi dengan orang-orang Arab. Mereka mungkin memperlihatkan pada
Suriah yang merupakan biang keladi, bahwa Israel tidak berani menyerang Suriah
yang dilindungi oleh Uni Soviet, namun boleh menyerang Yordania yang didukung
oleh Amerika Serikat tanpa ada hukuman."[14]
Dalam menghadapi kritik dari orang
Yordania, Palestina dan tetangga Arab lainnya karena kegagalannya dalam
mempertahankan Samu, Hussein memerintahkan untuk menjalankan mobilisasi
nasional pada tanggal 20 November 1966.[15] Pada tanggal 25 November 1966,
Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 228 dan menyesali "kehilangan nyawa
dan kerusakan besar menyebabkan terjadinya tindakan Israel pada tanggal 13
November 1966", mengancam "Israel karena jumlah pasukan berskala
besar yang melanggar Piagam PBB dan Perjanjian Perdamaian antara Israel dan
Yordania" dan menekan "kepada Israel bahwa tindakan balas dengan
mengirim tentara tidak dapat ditolerir dan jika mereka mengulangi hal tersebut,
Dewan Keamanan PBB akan mempertimbangkan langkah-langkah efektif seperti yang
dibayangkan di dalam Piagam untuk memastikan pencegahan terhadap pengulangan
tindakan yang sedemikian."[16]
Dalam satu telegram untuk Departemen
Negara Bagian pada tanggal 18 Mei 1967, Duta besar Amerika Serikat di Amman,
Findley Burns, telah melaporkan bahwa Hussein telah menjelaskan opininya dalam
sebuah perbincangan sehari sebelumnya bahwa "Yordania adalah salah satu
sasaran dalam jangka pendek dan dalam pandangan Hussein, ia pasti berlaku dalam
jangka panjang.... Israel mempunyai kebutuhan militer dan ekonomi yang panjang
serta tradisi agama dan aspirasi sejarah yang tertentu dimana pada pandangan
Hussein mereka masih belum puas. Satu-satunya cara agar keinginan mereka
tercapai adalah dengan mengubah status Tebing Barat, Yordania. Oleh sebab itu
pandangan Hussein adalah hal yang bagi Israel merupakan kesempatan untuk
mengambil kelebihan dari suatu peluang dan memaksa situasi apapun yang membuat
mereka lebih dekat kepada keinginan mereka. Hussein mengkhawatirkan bahwa
keadaan pada saat itu yang memberi kesempatan terhadap teroris, penyelundupan
dan perpecahan di antara orang Arab yang sangat jelas," ”
dan mengenang
peristiwa Samu "Hussein menyatakan bahwa jika Israel melancarkan serangan
serangan berskala-Samu terhadap Yordania, ia tidak memiliki pilihan lain selain
untuk membalas serangan mereka atau ia akan menghadapi pemberontakan di
negaranya. Jika Yordania menyerang balas, tanya Hussein, apakah ini akan
memberikan Israel suatu kesempatan untuk merebut wilayah Yordania dan
mempertahankan wilayah Yordania yang direbut? Atau Israel mungkin akan
menyerang dengan jenis serangan tembak-dan-lari hanya untuk menaklukan dan
mempertahankan wilayah dalam perang sebelumnya. Hussein menyatakan bahwa ia
tidak mungkin mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan ini dari perkiraannya dan
mendesak kami agar jangan berbuat demikian walaupun kita hanya ingin
merasakannya."[17] ”
Israel
dan Suriah
Selain mendukung serangan-serangan
kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja
Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau
Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan
atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel
dan Suriah. [18]
Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah
menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila
salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer
PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah
dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2
alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap
Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir
Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat. [19]
Laporan untuk Departemen Luar Negeri
dari Kedutaan Besar Inggris di Damaskus, perihal konflik Israel dan Suriah
tanggal 7 April 1967 mengenai pengelolaan kawasan perselisihan.
Selama kunjungan ke London pada
bulan Februari tahun 1967, Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban menjelaskan
kepada hadirin tentang "harapan dan kegelisahan" Israel, bahwa
walaupun Libanon, Yordania dan Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir sampai
1971) sepertinya berkeputusan untuk berkonfrontasi aktif melawan Israel, masih
perlu dilihat apakah Suriah dapat mengekang diri sehingga permusuhan dapat
dibatasi hanya sampai tingkatan retorik. [20]
Pada tanggal 7 April 1967, suatu
peristiwa kecil di perbatasan telah menyebabkan satu pertempuran udara berskala
besar di Dataran Tinggi Golan yang mengakibatkan Suriah kehilangan enam MiG-21,
yang dikalahkan oleh Dassault Mirage III Angkatan Udara Israel, yang juga
terbang melintasi Damaskus. [21] Tank, mortir, dan artileri digunakan oleh
berbagai pihak sepanjang 47 mil (76 km) perbatasan, yang dijelaskan sebagai
"suatu perselisihan terhadap hak pengerjaan tanah dalam Zona
Demiliterisasi, di sebelah tenggara Danau Tiberias." Pada awal minggu,
Suriah telah 2 kali menyerang traktor Israel yang bekerja di kawasan tersebut,
dan ketika traktor itu kembali lagi di pagi hari tanggal 7 April 1967, Suriah
pun melepaskan tembakan. Israel bereaksi dengan mengirim beberapa traktor lapis
baja untuk terus membajak, mengakibatkan berlanjutnya aksi tembak-menembak.
Pesawat Israel menjatuhkan bom-bom seberat 250 dan 500 kilogram ke
lokasi-lokasi Suriah. Suriah membalas dengan menembak pemukiman-pemukiman
Israel di perbatasan dan pesawat jet Israel membalas dengan mengebom desa
Sqoufiye yang menghancurkan 40 rumah. Pada pukul 15:19, tembakan Suriah mulai
jatuh di Kibbutz Gadot, sebanyak 300 tembakan telah jatuh dalam lingkungan
kibbutz dalam waktu 40 menit. [22] UNTSO mencoba untuk menyusun gencatan
senjata, namun Suriah menolak untuk bekerja sama jika pengerjaan tanah Israel
tidak dihentikan. [23]
Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol
yang berbicara dalam suatu pertemuan partai politik sayap kiri Mapai di
Yerusalem pada tanggal 11 Mei 1967, ia memberikan ancaman bahwa Israel tidak
ragu-ragu untuk mengirim serangan udara dalam skala yang sebesar pada tanggal 7
April 1967 sebagai balasan terhadap terorisme di perbatasan yang berkelanjutan.
Pada hari yang sama, Gideon Rafael, utusan Israel memberikan surat kepada Dewan
Keamanan PBB dan memberikan ancaman bahwa Israel akan "bertindak untuk
mempertahankan diri jika keadaan sekitar memungkinkan". [24] Ditulis dari
Tel Aviv pada tanggal 12 Mei 1967, James Feron melaporkan bahwa sebagian dari
pemimpin Israel memutuskan untuk mengirim pasukan "yang kuat tetapi dalam
kurun waktu yang singkat dan pada kawasan yang terbatas" terhadap Syria.
Laporan itu juga mengutip "seorang pengamat yang berwibawa" yang
"berkata bahwa Republik Persatuan Arab, sekutu Suriah yang paling dekat di
dunia Arab, tidak akan ikut campur kecuali jika serangan Israel
meluas".[25]
Pada awal bulan Mei tahun 1967,
kabinet Israel memberikan hak atas serangan terbatas terhadap Suriah, namun
permintaan semula oleh Rabin untuk menyerang secara besar-besaran agar dapat
menggulingkan rezim Ba'ath ditentang oleh Eshkol. [26]
Peristiwa di perbatasan terus
bertambah dan banyak pemimpin Arab, termasuk para pemimpin politik dan militer,
meminta untuk mengakhiri tindakan Israel. Mesir, yang pada saat itu mencoba
merebut kedudukan yang utama di dalam dunia Arab di bawah Nasser, turut
menyertai rencana-rencana untuk memiliterisasi Sinai. Suriah mengutarakan
pandangan-pandangan itu, walaupun tidak siap untuk melakukan serangan
tiba-tiba. Uni Soviet mendukung keperluan militer negara-negara Arab dengan
aktif. Intelijen Soviet memberikan laporan yang diberikan oleh Presiden Uni
Soviet Nikolai Podgorny kepada Wakil Presiden Mesir Anwar Sadat menyatakan
bahwa tentara Israel sedang berkumpul di sepanjang perbatasan Suriah. Pada
tanggal 13 Mei, laporan Soviet yang bohong itu didedahkan. Namun laporan palsu
itu terungkap pada tanggal 13 Mei 1967.[27] [28]Pada bulan Mei tahun 1967,
Hafez Assad, selanjutnya Menteri Pertahanan Suriah juga menyatakan: "Pasukan
kami sekarang seluruhnya siap tidak hanya untuk menahan agresi, namun untuk
mengusahakan aksi pembebasan, dan untuk menghancurkan kehadiran Zionis di
tempat tinggal Arab. Pasukan Suriah, dengan jarinya mencetuskan persatuan...
Saya, sebagai seseorang yang secara militer percaya bahwa waktunya telah tiba
untuk memasuki pertempuran pembinasaan."[29]
Mundurnya
Pasukan Keamanan PBB
Pada pukul 10.00 malam 16 Mei,
Jendral Indar Jit Rikhye, letnan kolonel United Nations Emergency Force (UNEF),
menerima surat dari Jendral Mohammed Fawzy yang berbunyi:
“Sebagai
informasi untuk anda, saya telah mengarahkan semua tentara Republik Persatuan
Arab agar mempersiapkan diri untuk melakukan tindakan terhadap Israel jika
negara itu melakukan tindakan yang agresif terhadap salah satu negara Arab.
Oleh karena instruksi ini, tentara kita kini bertumpu di perbatasan timur kita
di Sinai. Oleh sebab itu, agar pasukan keamanan PBB yang ditempatkan di pos-pos
pengawasan pada sepanjang perbatasan kita, saya meminta agar anda memerintahkan
pengunduran semua tentara dengan segera."”Rikhye berkata bahwa ia akan
melaporkan kepada sekretaris jendral untuk mendapat instruksi selanjutnya. [30]
U Thant, Sekretaris Jendral PBB,
mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri
Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa
misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi
segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos
mereka. India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari
UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant
memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak
usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah
memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan
meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera.
Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur.
[31][32] Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi
Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan
Israel.
Selat
Tiran
Peta
lokasi selat Tiran.
Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir
mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup
untuk "semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa
bahan-bahan strategik". [33] Nasser juga menyatakan, "Tidak akan
membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apapun."
Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut
Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel
tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni
tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan
bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. [34] [35]
Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya
mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera
Israel.
Melihat hukum
internasional, [36] Israel menganggap bahwa Mesir telah menyalahi undang-undang
jika negara tersebut menutup Selat Tiran, dan menyatakan bahwa Israel akan
menganggap blokade itu sebagai suatu casus belli pada tahun 1957 ketika Israel
mundur dari Sinai dan Jalur Gaza. [37] Negara-negara Arab memperdebatkan hak
Israel untuk melewati Selat Tiran kerana mereka tidak menandatangani Konvensi
PBB tentang peraturan laut terutama kerana Pasal 16(4) memberikan hak tersebut
kepada Israel. [38] Dalam perselisihan Majelis Umum PBB, banyak negara
mengemukakan alasan bahwa jika hukum internasional memberikan hak untuk lewat
kepada Israel, Israel tidak berhak menyerang Mesir untuk menuntut haknya karena
penutupan itu bukan merupakan "serangan bersenjata" seperti yang
tertulis dalam Pasal 51 dalam Piagam PBB. Selain itu menurut profesor hukum
internasional John Quigley, berdasarkan doktrin proporsional, Israel berhak
menggunakan kekuatan bersenjata hanya seperlunya saja demi mengamankan haknya
untuk lewat. [39]
Israel memperhatikan penutupan selat
itu dengan serius dan meminta Amerika Serikat dan Britania Raya untuk membuka
Selat Tiran seperti yang telah mereka jaminkan pada tahun 1957. Proposal Harold
Wilson agar adanya kekuatan laut internasional untuk memecahkan krisis ini
disetujui oleh Presiden Johnson, akan tetapi ia tidak menerima banyak dukungan,
dan hanya Britania Raya dan Belanda yang menawarkan bantuan berupa kapal-kapal.
Mesir
dan Yordania
Ideologi Nasser yang berbentuk
pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal
30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab
itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania.
Presiden Nasser, dimana telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang
"pesuruh imperialis", pada awal hari menyatakan:
“Tujuan awal kita semua adalah
kehancuran Israel. Orang-orang Arab ingin berperang. "[40]”Pada akhir
bulan Mei tahun 1967, tentara Yordania telah dikomando oleh Jendral Mesir,
Jendral Abdul Munim Riad. [41]. Pada hari yang sama, Nasser menyatakan:
“Tentara Mesir,
Yordania, Suriah dan Lebanon sedang dalam keadaan tenang di perbatasan
Israel... untuk menghadapi tantangan, dimana di belakang kami berdiri tentara
Irak, Aljazair, Kuwait dan Sudan dan semua negara Arab. Aksi ini akan
mengherankan dunia. Hari ini mereka akan mengetahui bahwa Arab telah siap untuk
sebuah pertempuran, waktu yang menentukan telah tiba. Kita telah mencapai
panggung aksi serius dan bukan deklarasi-deklarasi lainnya. Kami telah mencapai
panggung aksi serius dan tidak lagi mengeluarkan deklarasi."[42] ”
Israel telah meminta Yordania
beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung
tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut
dalam peperangan dan menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap
netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif
Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa "Jika
Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan
Yordania". [43]
Israel memiliki
pandangannya sendiri berkaitan dengan peranan Yordania dalam perang yang
berdasarkan kekuasaan Yordania atas Tepi Barat. Hal ini akan membuat tentara
Arab yang hanya berjarak 17 kilometer dari pantai Israel yang merupakan suatu
titik perubahan dimana serangan tank akan membelah Israel menjadi dua dalam
waktu 2 jam. Walaupun jumlah tentara Yordania memiliki arti bahwa Yordania
mungkin tidak akan melaksanakan latihan militer karena berhubungan dengan
sejarah bahwa negara ini digunakan oleh negara Arab lainnya sebagai panggung
untuk operasi melawan Israel, oleh sebab itu, serangan dari Tepi Barat akan
menjadi ancaman bagi Israel. Pada waktu yang sama, negara Arab yang tidak
berbatasan dengan Israel, seperti Irak, Sudan, Kuwait dan Aljazair mulai
menggerakkan tentara mereka.
Aliran
menuju peperangan
Dalam ucapannya kepada orang-orang
Arab pada tanggal 26 Mei 1967, Nasser menyatakan:
“Jika Israel memulai
agresi terhadap Suriah atau Mesir, pertempuran ini akan menjadi hal yang
umum... dan tujuan dasar kita adalah untuk menghancurkan Israel."[44] ”
Menteri Luar
Negeri Israel, Abba Eban menulis dalam biografinya bahwa ia telah
diinformasikan oleh U Thant mengenai janji Nasser untuk tidak menyerang Israel,
sehingga Abba Eban telah mendapat jaminan yang meyakinkan bahwa“...Nasser tidak
ingin adanya peperangan, ia hanya menginginkan kemenangan tanpa peperangan.[45]
[46] ”Ditulis dari Mesir pada tanggal 4 Juni 1967, jurnalis New York Times
James Reston memiliki pandangan :
“Kairo tidak
ingin adanya peperangan dan ia tidak siap untuk sebuah peperangan. Tetapi ia
menerima kemungkinan, walaupun hanya kemungkinan, seolah-olah ia telah kehilangan
kekuasaan atas situasi. [47]”
Sebuah tulisan ditulis pada tahun
2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa hal itu
adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel
"dikepung oleh negara Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser,
nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Suriah
dipimpin oleh Partai Ba'ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk
mendorong Israel ke laut."[48] Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi
provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di
Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat
menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh
militer dan politik Israel merasa bahwa dengan "melakukan tindakan militer
sebelum diserang" bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.
Jalur
Gaza dan Semenanjung Sinai
Penguasaan
Sinai. 7 Juni-8 Juni 1967
Pasukan Mesir terdiri dari 7 divisi,
yaitu 4 divisi lapis baja, 2 divisi infantri, dan 1 divisi infantri yang
dimaknisasi. Mesir memiliki sekitar 100.000 pasukan dan 900-950 tank di Sinai,
dipersenjatai dengan 1.100 Pengangkut personel lapis baja dan 1.000
artileri.[73] Penyusunan ini berdasarkan dari doktrin Uni Soviet, di mana mobil
lapis baja menyediakan pertahanan dinamik ketika infantri ikut serta dalam
pertempuran yang bersifat pertahanan.
Pasukan Israel mengkonstrasikan di
perbatasan Mesir dengan mengikutsertakan 6 brigadir lapis baja, 1 brigadir
infantri, 1 brigadir infantri yang dimaknisasi, 3 brigadir pasukan payung dan
700 tank yang berjumlah 70.000 orang, diatur dalam 3 divisi lapis baja. Rencana
Israel adalah untuk mengejutkan pasukan Mesir (serangan tersebut tentu saja
bertepatan dengan serangan Angkatan Udara Israel terhadap bandara Mesir), yang
menyerang melalui rute utara dan tengah Sinai, dimana diluar dugaan Mesir
karena Mesir mengguna Israel akan menggunakan rute yang sama dengan serangan
tahun 1956, dimana Angkatan Bersenjata Israel menyerang melalui rute tangah dan
selatan.
Wilayah
yang direbut Israel
Tanggal 11 Juni, Israel
menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza,
Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi
Golan. Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk
sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di wilayah yang
baru didapat (banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar
Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km ke selatan, 60 km ke
timur, dan 20 km ke utara.
Korban
jiwa
Korban yang jatuh dari pihak Israel,
jauh dari perkiraan semula yang berjumlah lebih dari 10.000, termasuk sedikit:
338 prajurit meninggal di medan pertempuran Mesir, 550 meninggal dan 2.400 luka
di medan pertempuran Yordania[78] dan 141 di medan pertempuran Suriah. Mesir
kehilangan 80% peralatan militer mereka, 10.000 prajurit meninggal dan 1.500
panglima terbunuh[79], 5.000 prajurit and 500 panglima tertangkap[80], dan
20.000 korban luka.[81] Yordania mengalami korban 700 meninggal dan sekitar
2.500 terluka.[82] Suriah kehilangan 2.500 jiwa dan 5.000 terluka, separo
kendaraan lapis baja dan hampir semua artileri yang ditempatkan di Dataran
Tinggi Golan dihancurkan.[83] Data resmi dari korban Irak adalah 10 meninggal
dan sekitar 30 terluka.[84]
Perubahan
religius
Akhir dari perang juga membawa
perubahan religius. Di bawah pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi dan
Nasrani dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan,
situs paling suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka. Orang Yahudi
merasakan situs-situs Yahudi tidak dirawat, dan kuburan-kuburan mereka telah
dinodai.[85][86] Setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik. Israel
mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan
alasan keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan,
meskipun Masjid Al-Aqsa dipercayakan di bawah pengawasan wakaf Muslim dan
orang-orang Yahudi dilarang untuk beribadah di sana. [87]
Insiden lain
ialah adanya penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dengan tujuan
mencari Haikal Sulaiman (Bait Suci Kedua), yang membuat pondasi masjid menjadi
rapuh dan kemungkinan besar masjid dapat ambruk.[88][89] Situs Al-Aqsa Online
menyebutkan (15/2/2008), telah terjadi longsoran yang menimbulkan lubang
sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter.[90] Longsoran itu terjadi di dekat
Pintu Gerbang Al-Selsela dan sumber air Qatibai, sisi barat masjid. Dalam
pernyataannya, lembaga rekonstruksi tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation
menyatakan, longsoran itu disebabkan oleh penggalian yang dilakukan sekelompok
warga Israel di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa dan penggalian tersebut sudah
mencapai Pintu Gerbang Selsela.[91] Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam
di Israel pimpinan Syaikh Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim
segera mengambil langkah untuk menghentikan penggalian tersebut yang dilakukan
di kompleks Masjid Al-Aqsa.[92]
Selain kegiatan penggalian, pada
Februari 2007, buldoser-buldoser Israel menghancurkan jembatan kayu menuju
Pintu Gerbang Al-Maghariba dan menghancurkan dua ruang di bawah tanah, komplek
Masjid Al-Aqsa.[93][94] Aksi Israel ini menuai protes dari rakyat Palestina dan
negara-negara Muslim. Namun Israel seakan-akan tidak mendengarkan
kecaman-kecaman itu.
Perubahan
politik
Pengaruh Perang Enam Hari tahun 1967
dari segi politik amat besar. Israel telah menunjukkan bahwa Israel tidak hanya
mampu, tetapi juga hendak memulai serangan-serangan strategik yang dapat
mengubah keseimbangan wilayah. Mesir dan Suriah mempelajari berbagai
kemungkinan taktikal, tetapi mungkin bukan yang strategik. Mereka kemudian
melancarkan serangan pada tahun 1973, dalam satu percobaan untuk menguasai
kembali wilayah yang telah direbut Israel.
Sampul majalah
Life, 23 Juni 1967. Foto pasukan Israel di terusan Suez setelah perang. Menurut
Chaim Herzog:
“Pada tanggal 19
Juni 1967, Pemerintah Israel melakukan pemungutan suara untuk mengembalikan
Sinai kepada Mesir dan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah sebagai imbalan atas
terjadinya perjanjian perdamaian. Dataran Tinggi Golan akan dijadikan kawasan
bebas militer, serta perjanjian khusus akan dibuat untuk persoalan Selat Tiran.
Israel juga berketetapan untuk memulai perundingan dengan Raja Hussein dari
Yordania mengenai perbatasan timurnya. [95]”
Keputusan Israel akan disampaikan
kepada negara-negara Arab melalui Amerika Serikat. Namun, walaupun Amerika
Serikat diberitahu tentang keputusan ini, ia tidak diberitahu bahwa Israel
memerlukan bantuannya untuk menyampaikan keputusan ini kepada Mesir dan Suriah.
Oleh sebab itu, beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Mesir dan Suriah tidak
pernah menerima tawaran itu. [96]
Resolusi Khartoum membuat ketetapan
bahwa "tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau perundingan dengan
Israel". Namun, seperti yang diperhatikan Avraham Sela, resolusi Khartoum
menandakan secara berkesan suatu peralihan tanggapan pertempuran negara-negara
Arab daripada persoalan tentang kesahan Israel kepada persoalan wilayah dan
perbatasan dan ini ditegaskan pada tanggal 22 November 1967 ketika Mesir dan
Yordania menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242. [97]
Kontroversi
Peristiwa-peristiwa pada saat Perang
Enam Hari yang dramatik telah menimbulkan beberapa tuduhan serta teori-teori
yang penuh dengan kontroversi.
Angkatan
Bersenjata Israel membunuh tawanan perang Mesir
7 Juni 1967: Tentara Israel mengawal
tawanan-tawanan perang Mesir di El Arish (Shabtai Tal).
Dalam sebuah pertemuan untuk Radio
Israel pada tanggal 16 Agustus 1995, Aryeh Yitzhaki yang dahulu bertugas di
Pusat Pengajian Sejarah Angkatan Bersenjata Israel di Universitas Bar-Ilan menuduh
bahwa pasukan Israel melakukan pembunuhan sehingga 1.000 orang Mesir yang tak
bersenjata dibunuh oleh Angkatan Bersenjata Israel. Tuduhan itu menerima
perhatian yang meluas di Israel serta di seluruh dunia. Namun, Yitzhaki
kemudian diketahui bahwa ia merupakan seorang ahli Partai Tsomet (partai
politik sayap kanan Israel) yang diketuai oleh Rafael Eitan. Meir Pa'il,
seorang politikus dan ahli sejarah yang pernah memperkerjakan Yitzhaki sebagai
asistennya, menyatakan bahwa Yitzhaki mempunyai niat terselubung untuk
mengalihkan perhatian orang dari penuduhan oleh Jendral Arye Biro tentang
keikutsertaan Yitzhaki dalam pembunuhan 49 orang tawanan perang pada saat
perang tahun 1956.
Walaupun tuduhan Yitzhaki tidak
pernah disahkan, banyak anggota militer yang tampil ke depan semasa perdebatan
negara di Israel yang penuh dengan kontroversi untuk mengatakan bahwa mereka
telah menyaksikan pembunuhan tawanan tidak bersenjata. Ahli sejarah militer
Israel, Uri Milstein, dilaporkan berkata bahwa banyak kejadian yang serupa
telah dilakukan dalam peperangan itu: "Itu bukan dasar resmi, tetapi
terdapat suasana bahwa perbuatan itu tidak salah. Sebagian letnan kolonel
memutuskan untuk membuatnya, dan ada yang enggan berbuat demikian. Tetapi
setiap orang tahu akan perkara itu".
Dukungan
Amerika Serikat dan Britania Raya
Kapal USS Independence digunakan
dalam Armada Keenam Amerika Serikat tahun 1967 Sebagian orang Arab mempercayai
bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya memberikan dukungan yang aktif kepada
Angkatan Udara Israel. Tuduhan tentang dukungan pertempuran Amerika Serikat dan
Britania Raya kepada Israel bermula pada hari kedua peperangan tersebut. Radio
Kairo dan akhbar kerajaan Al-Ahram membuat beberapa tuduhan, antaranya: pesawat-pesawat
dari kapal induk pesawat udara Amerika Serikat dan Britania Raya membuat
serangan terhadap angkatan tentera Mesir pesawat-pesawat Amerika Serikat yang
ditempatkan di Libya menyerang Mesir satelit mata-mata Amerika Serikat
memberikan informasi kepada Israel.
Suriah dan Yordania membuat
laporan-laporan yang serupa dalam siaran-siaran Radio Damaskus dan Radio Amman.
Tuduhan ini juga disebut lagi oleh Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, dalam
ucapannya saat peletakan jabatannya pada tanggal 9 Juni 1967 (peletakan
jabatannya ditolak). London dan Washington D.C. membantah tuduhan ini, dan
tidak terdapat bukti yang mendukung tuduhan tersebut. Dalam lingkungan
pemerintahan Amerika Serikat dan Britania Raya tuduhan ini dengan cepatnya
dikenali sebagai "kebohongan besar". Walaupun begitu, tuduhan bahwa
orang-orang Arab sedang bertempur dengan Amerika Serikat serta Britania Raya,
dan bukan hanya dengan Israel, berterusan dalam dunia Arab.
Menurut Elie Podeh, ahli sejarah
Israel: "Semua buku teks sejarah Mesir selepas tahun 1967 mengulangi tuduhan
bahwa Israel melancarkan peperangan itu dengan dukungan dari Britania Raya dan
Amerika Serikat. Hal itu juga mengasaskan perkaitan langsung antara perang 1967
dengan percobaan-percobaan imperialis yang dahulu untuk menguasai dunia Arab,
dan menggambarkan Israel sebagai satu "kacung" imperialis.
Pengulangan kisah dongeng ini, dengan hanya sedikit perubahan, dalam semua buku
teks sejarah bermaksud bahwa semua kanak-kanak sekolah Mesir telah
diindoktrinasikan dengan cerita sulit itu." Sebuah telegram Britania ke
kubu-kubu Timur Tengah menyimpulkan: "Keengganan Arab untuk menolak semua
versi palsu itu berasal sebagian dari keperluan untuk mempercayai bahwa tentara
Israel tidak dapat menewaskan mereka dengan begitu saja tanpa bantuan
luar." [101]
Ahli-ahli sejarah seperti Michael
Oren memperdebatkan bahwa dengan mengenakan tuduhan salah terhadap Amerika
Serikat dan Britania Raya kerana membantu Israel secara langsung.[102] Sebagai
tindak balas terhadap tuduhan itu, negara-negara minyak Arab kemudian mengumumkan
boikot minyak. 6 negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika
Serikat dan Lebanon menarik kedutaan besarnya.[103]
Pemimpin-pemimpin Arab sedang
mencoba memperoleh bantuan militer yang aktif dari Uni Soviet untuk diri
sendiri. Namun, pihak Soviet mengetahui bahwa tuduhan tentang bantuan asing
terhadap Israel itu tidak berasas, dan memberitahu diplomat-diplomat Arab di
Moskwa tentang fakta ini. Walaupun Uni Soviet tidak mempercayai tuduhan-tuduhan
itu, media Soviet meneruskan pemetikan tuduhan-tuduhan tersebut dan dengan itu,
menipiskan kepercayaan laporan-laporan itu.
Dalam sebuah pertemuan pada tahun
1993, Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, menyatakan bahwa
keputusan untuk menempatkan Armada Keenam Amerika Serikat di Laut Tengah bagian
Timur untuk mempertahankan Israel, bahkan jika diperlukan, telah mencetuskan
krisis antara Amerika Serikat dan Kesatuan Soviet. Armada tersebut sedang
menjalani latihan tentera laut berhampiran dengan Gibraltar ketika itu.
McNamara tidak menerangkan bagaimana krisis itu diatasi.
Dalam bukunya, Enam Hari, Jeremy
Bowen, wartawan BBC, menuduh bahwa selama krisis itu, kapal-kapal dan
pesawat-pesawat Israel membawa simpanan senjata Britania dan Amerika Serikat
dari tanah Britania Raya.
Desakan
Uni Soviet
Terdapat teori-teori bahwa seluruh
perang pada tahun 1967 merupakan suatu percobaan yang tidak semestinya oleh Uni
Soviet dengan tujuan meningkatkan ketegangan antara Jerman Barat dengan
negara-negara Arab melalui dukungan Jerman Barat terhadap Israel.
Dalam sebuah artikel tahun 2003,
Isabella Ginor memperincikan dokumen-dokumen GRU Soviet yang memuat rencana
tersebut. Ia juga memperincikan informasi intelijen yang salah yang diberikan
kepada Mesir, yang menyatakan tentang bertambahnya jumlah militer Israel
besar-besaran. [104]
Tokoh
penting yang terlibat:
Gamal Abdel
Nasser, Presiden Mesir
Raja Hussein
dari Yordania
U Thant, Sekjen
Perserikatan Bangsa-bangsa
Levi Eshkol,
Perdana Menteri Israel
Moshe Dayan,
Menteri Pertahanan Israel, Jenderal Israel
Abba Eban,
Menteri Luar Negeri Israel
Lyndon B.
Johnson, Presiden Amerika Serikat
Robert McNamara,
Menteri Pertahanan Amerika Serikat
Leonid Brezhnev,
Pemimpin Soviet
Mengapa orang islam benci dan selalu kalah dalam segala hal dari Yahudi Israel? Itu karena islam, tuhannya si alloh dan nabinya membuat otak manusia islam jadi tolol setolol-tololnya. Makanya tak ada negara islam yang maju.
ReplyDelete