SELINTAS SEJARAH KEBEBASAN PERS DI INDONESIA
Oleh : Hanif Hoesin*
ABSTRAK
Surat
kabar dalam menjalankan perannya banyak ditentukan oleh kebijakan rezim dalam
memberikan tafsir kebebasan untuk mendapatkan kebenaran. Kasusu di Indonesia di
lihat dari sejarah kebebasan pers dari sejak pemerintah Soekarno, Soeharto
sampai dengan era reformasi mengalami pasang surut perkembangan yang berbeda.
Sementara akan kehidupan pers itu sendiri, pada akhirnya akan ditentukan oleh
mekanisme pasar, khususnya khalayak dalam menyikapi keberadaan pers (surat
kabar)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal perkembangannya,
suratkabar sebagai media massa tertua sudah menjadi lawan nyata atau musuh
penguasa mapan. Suratkabar dan media massa seringkali berada pada posisi lemah
dan amat mudah ditundukkan oleh kekuasaan. Citra pers yang dominan dalam
sejarah selalu dikaitkan dengan pemberian hukuman bagi pengusaha percetakan,
penyunting dan wartawan, perjuangan untuk memperoleh kebebasan penerbitan,
pelbagai kegiatan suratkabar untuk memperjuangkan kemerdekaan, demokrasi dan
hak-hak kelas pekerja, serta pers bawah tanah di bawah penindasan kekuatan
asing atau pemerintahan diktator[1].
Tekanan terhadap pers di
Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC melalui berbagai bentuk aturan hukum.
Pada tahun 1712 VOC melarang suratkabar yang berisi berita-berita dagang,
karena VOC takut kalah dalam persaingan dagang akibat berita-berita tersebut.
Selanjutnya pada tahun 1856 diberlakukan Drukpers
Reglement dengan sensor preventif; dan tahun 1931 Belanda mengeluarkan lagi
Presbreidel Ordonantie dengan sensor
represif. Selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, beberapa penerbitan
pers “sengaja dibangun” untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur Raya, akan
tetapi beberapa penerbitan pers nasionalis yang sudah ada, mendapat pengawasan
represif yang cukup ketat. Pembatasan terhadap kebebasan pers pada era
penjajahan Jepang dilakukan melalui UU No.16 tahun 1942 dengan sensor
preventif, yang dikenal dengan “Osamu
Serei[2]”.
Selama 60 tahun merdeka,
Indonesia pernah mengalami beberapa kali kebebasan pers, yaitu pada awal
kemerdekaan, selama Republik lndonesia menerapkan sistem pemerintahan Kabinet
Parlementer, pada awal Pemerintahan Orde Baru dan para era Reformasi saat ini.
Pada waktu-waktu lainnya, kebebasan pers di Indonesia mengalami berbagai
tekanan. Setidak-tidaknya ada enam ketentuan hukum yang dapat dicatat yang
membatasi kebebasan pers di Indonesia, yaitu: (1) Peperti Nomor 10 tahun 1960
tentang Surat Izin Terbit; (2) Peperti Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengawasan
Dan Promosi Perusahaan Cetak Swasta; (3) Kepres Nomor307 tahun 1962 tentang
Pendirian LKBN Antara; (4) Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang
Pengaturan Memajukan Pers; (6) Peraturan Menpen Tahun 1970 tentang Surat Izin
Terbit, dan (6) Peraturan MenpenNomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP[3].
Dari berbagai peraturan perundangan tersebut, salah satu diantaranya yang
mendapat sorotan selama pemerintahan Orde Baru adalah Peraturan Menpen Nomor 1
Tahun 1984 tentang SIUPP, karena ketentuan hukum ini memberikan kekuasaan yang
amat luas kepada pemerintah dalam membatasi kebebasan pers melalui pembekuan
perusahaan penerbitan pers sewaktu-waktu, yang sangat bertentangan dengan UUD
1945, khususnya pasal 28.
B. Permasalahan
Media massa di satu negara
mencerminkan sistem pemerintahan negara bersangkutan. Dengan kata, lain
perkembangan politik dan sistem pemerintahan amat berpengaruhi terhadap
pertumbuhan media, terutama yang berkaitan dengan kebebasan. Wiio (1975,1982)
sebagaimana dikutip Martin mengemukakan: “In
anything, differences in mass media roles and functions in different social
system support a contiugency view of communication. Lebih lanjut Martin menjelaskan: “According to this view the communication
process and outcomes are influenced by internal and external contigencies
(situation) as well as by the degree of freedom of the work process of the
system”[4]
Menurut Siebert, untuk mengetahui realitas pers di suatu negara secara
mendalam, terlebih dahulu harus dikaji asumsi-asumsi
filosofis (dasar dan hakiki) yang diyakini dan digunakan oleh negara
tersebut, terutama menyangkut hakikat
manusia, hakikat negara dan masyarakat, hubungan manusia dengan negara, serta
hakikat pengetahuan dan kebenaran[5]. Hal ini adalah karena pers selalu
mengambil bentuk dan warna yang sesuai dengan asumsi-asumsi filosofis yang
diyakini dan digunakan oleh negara di mana pers tersebut berada[6].
Sejak Kemerdekaan, Indonesia
sudah mengalami beberapa kali pergantian sistem pemerintahan, mulai dari
pemerintahan yang demokratis pada awal kemerdekaan, pemerintahan yang liberal
saat Kabinet Parlementer, dualisme pemerintahan selama masa penjajahan
NICA/Sekutu yang otoriter dan pemerintahan republik yang demokratis. Kemudian
setelah beberapa tahun kembali lagi ke pemerintahan yang otoriter yang dikenal
dengan rezim Orde Lama dan selama dan hampir 25 tahun era pemerintahan rezim
Orde Baru Suharto .
Setelah Presiden Soekarno
mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya
Perang (SOB) tanggal 14 Maret 1957
sehubungan pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi, diikuti Dekrit Presiden 1
Juli 1959, sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia adalah pemerintahan
yang otoriter. Sistem pers yang berlaku di Indonesia mulai saat itu juga
menganut paham Otoritarian yang
ditandai dengan terjadinya berbagai tindakan antipers. Kondisi demikian paling
tidak berlangsung sampai awal pemerintanan Orde Baru, saat mana pemerintahan
mengalami masa transisi untuk kembali melaksanakan Undang Undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuen. Pada masa transisi ini sistem pers di Indonesia
cenderung menganut paham Libertarian,
pers dengan bebas dapat melakukan kritik terhadap penguasa dan mendukung
perjuangan mahasiswa “menghabisi” rezim Orde Lama. Akan tetapi kebebasan ini
tidak bertahan lama, karena setelah Pemerintahan Rezim Orde Baru merasa cukup
kuat, rezim pemerintahan Soeharto mulai melakukan pembatasan terhadap berbagai
bidang kehidupan, sehingga pers Indonesia kembali ke paham Otoritarian.
Reformasi yang diawali pada
pertengahan 1997 dengan puncaknya Mei 1998, mengusung tiga tuntutan masyarakat,
yaitu demokratisasi, keterbukaan dan
supremasi hukum. Terjadinya penyerahan kekuasaan dari Suharto ke Habibie, telah merobah sistem pemerintahan
otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. Selama era pemerintahan
Presiden Habibie, terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap kebebasan
pers. Saat ini diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
menurut berbagai kalangan dikatakan sebagai undang-undang yang ‘terlalu
liberal’ yang digunakan sampai sekarang.
Tulisan ini
akan melihat bagaimana dan mengapa terjadi fluktuasi kebebasan
pers di Indonesia pada periode Pemerintahan Soekarno, Pemerintahan Suharto dan Era Reformasi.
Dalam
tulisan ini sistem pemerintahan di Indonesia sejak kemerdekaan sampai saat ini,
dikelompokkan atas tiga periode: (1) Era Pemerintahan Soekarno; (2) Era
Pemerintahan Suharto (Era Orde Baru), dan (3) Era Reformasi. Dalam melihat
perbedaan tersebut akan diacu berbagai teori komunikasi, teori jurnalistik dan
teori ilmu-ilmu sosial lainnya melalui pendekatan ‘deskripsi-historis’, yaitu
dengan menelusuri data sekunder, seperti penerbitan pemerintah, peraturan
perundangan, buku-buku ilmiah, serta referensi yang relevan.
Kebebasan Pers Era Pemerintahan Sukarno
Kebebasan pers pada era
pemerintahan Sukarno dapat dibagi atas tiga kategori waktu: (1) Revolusi Fisik
(1945 – 1950); (2) Pemerintahan RIS dan Kabinet Parlementer 1950 – 1957; dan
(3) Pemerintahan Otoriter 1957 – 1966 yang dikenal sebagai era Orde Lama.
1. Era Revolusi Fisik (1945 – 1950)
Pada era Revolusi Fisik,
Indonesia mengalami dualisme sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan
yang demokratis berdasarkan UUD 1945, dan pemerintahan otoriter Kolonial
Belanda NICA yang kembali ke Indonesia membonceng tentara Sekutu. Sebelum masuknya tentara Sekutu dan NICA, pada awal
kemerdekaan, pers Indonesia mengalami euphoria
kebebasan setelah terlepas dari tekanan penjajahan Belanda dan Jepang. Misi
utama pers saat itu adalah menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan dan
mempersiapkan masyarakat dalam melawan Jepang yang masih berada di Indonesia.
Dibandingkan dengan kebebasan saat dalam tekanan penjajah, kebebasan pers saat
itu mengalami perubahan yang signifikan dari pers otoriter ke pers liberal.
Pers dengan bebas menyerukan agar rakyat mengadakan pergerakan dalam merebut
senjata di kamp Jepang dan memberitakan secara luas hasil pergerakan rakyat
tersebut. Kondisi inilah yang menurut Muchtar Lubis merupakan awal dari
perjuangan pers secara terbuka.
Pers pada awal kemerdekaan
sebagai mitra bagi pemerintah dalam mencari kebenaran, mempertahankan
kemerdekaan dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah. Secara struktural,
pers Indonesia tumbuh dengan baik, setiap warga negara dapat menerbitkan surat
kabar tanpa adanya batasan, perizinan dan semacamnya dari penguasa. Sebagaimana
dikutip oleh Smith dalam Sullivian (1967), “pada tahun 1948 Indonesia
menerbitkan 45 surat kabar dengan oplah 227 ribu sehari. Ditempat yang tidak
ada surat kabar, orang Indonesia menerbitkan suratkabar stensilan”[7].
Selanjutnya, mengenagi pertumbuhan surat kabar secara fisik, dalam Garis
Besar Perkembangan Pers Indonesia yang diterbitkan SPS secara luas dikemukakan bahwa di
beberapa daerah pada era revolusi fisik ini terbit beberapa surat kabar
Indonesia. Di Jawa misalnya, terbit beberapa surat kabar, seperti Berita Indonesia yang merupakan pelopor surat kabar dizaman
kemerdekaan, Mimbar Oemoem, Sinar Deli,
Berjuang, Islam Berjuang, dan Soeloeh Merdeka di Medan. Di Sumatera Tengah
(Sumatera Barat, Riau dan Jambi), terbit Berjuang,
Oetoesan Soematera, Pedoman Kita, Detik, Kedaulatan Rakyat dan Tjahaya Padang. Di Palembang terbit
surat kabar Warta Berita, dan Soeara Rakyat. Sedangkan di Jakarta, terbit surat kabar Merdeka, Rakyat, dan Soeara Oemoem. Di Bandung antara lain, Pewarta Oemoem, di Jogyakarta terbit
beberapa surat kabar seperti Kedaulatan
Rakyat, Soeara Merdeka, Suara Rakyat dan di Semarang Sinar Baru. Untuk konsumsi tentara
Inggeris/India dan kalangan yang berbahasa Inggeris dan Belanda, diterbitkan
mingguan “Free Indonesia” di bawah
pimpinan Abdul Madjid, dan penerbitan berkala “de Vrijjheid” dan disebarkan cuma-cuma di Medan.
Periode ini ditandai pula dengan
lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 9 Pebruari 1946. Pada awal
kelahirannya PWI menempatkan diri sebagai organisasi kejuangan bersama
organisasi lainnya. “Pada masa tersebut, NKRI yang berusia muda mengintervensi
– bahkan mensubordinatkan – organisasi wartawan PWI, tetapi untuk satu tujuan
yang mulia, kemerdekaan itu sendiri.[8]
Kondisi PWI yang demikian, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan historis bahwa
NKRI yang masih berusia muda sangat memerlukan dukungan dari seluruh segmen masyarakat,
dan hal ini tidak berarti mengekang kebebasan wartawan.
Setelah Belanda kembali dengan
pemerintahan NICA yang membonceng tentara Sekutu, kehidupan pers Indonesia
kembali mengalami tekanan. Pemerintahan otoriter yang diterapkan Sekutu dan
NICA sangat mengancam kehidupan pers saat itu, karena kebenaran dianggap bukan
hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang yang sedang
berkuasa, yaitu Sekutu dan NICA. Dalam kondisi yang penuh tekanan oleh Sekutu
dan NICA, pers Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai pers perjuangan yang
terfokus dalam mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah.
Tekanan-tekanan terhadap pers
Indonesia terjadi di berbagai wilayah pendudukan. Di Jakarta pada tanggal 19
April 1946 Polisi NICA melakukan penggerebekan terhadap kantor berita APB (Arabian Press Board yang kemudian
berubah menjadi Asian Press Board.
Pemimpin APB, Dza Shahab ditangkap dan APB dilarang menyiarkan berita apapun
terutama mengenai gerakan-gerakan TNI. Disamping itu wartawan ‘republiken’ yang
bekerja di daerah pendudukan, di intimidasi dan digeledah dengan dalih
kolaborasi. Di Surabaya, wartawan yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda,
menyingkir ke pedalaman dan disana mereka meneruskan perjuangan membela
republik.
Di Medan, tekanan terhadap pers
dilakukan Sekutu dengan membreidel “Pewarta Deli”, memenjarakan A.O Lubis
(Wartawan) dan Rahmat pimpinan percetakan “Syarikat Tapanoeli”. Redaksi “Mimbar
Oemum” A.Wahab, ditahan dan alat-alat radionya dibeslag oleh Inggeris. Demikian pula halnya Pada dengan percetakan
“Soeloeh Merdeka” yang disita Inggeris pada 4 Juli 1946. Di Sumatera Tengah,
percetakan “Oetoesan Soematra” dihancurkan Sekutu, dan kegiatan penerbitan
terhenti pada akhir tahun 1946. Saat agresi ke – I, “Tjahaya Padang” berhenti terbit
karena pimpinan dan karyawannya ditawan Belanda bersamaan dengan ditembak mati
Walikota Padang Bagindo Azis Chan sebagai pendiri Tjahaya Padang. Sedangkan di
Palembang, kantor surat kabar “Obor Rakjat” menjadi sasaran penembakan Belanda.
Kondisi pers pada era ini, tidak
dapat dikatakan sebagai berada dalam authoritarian
of the press, karena walaupun berada dalam keadaan berbagai bentuk tekanan
oleh pemerintah Belanda, pers telah menempatkan diri sebagai pers perjuangan.
“Kala itu pers Indonesia dengan sama sekali tidak berpretensi sebagai pahlawan,
menunaikan tugas dan kewajiannya dengan segala keikhlasan dan penuh semangat
pengabdian mempertahanan dan mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamirkan
pada tanggal 17 Agustus 1945 itu[9]. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan inilah
yang menurut pers pada saat itu merupakan kebenaran yang harus dipertahankan.
Kalau merujuk kepada Siebert[10]
dan kawan-kawan kebebasan pers saat itu dapat dikategorikan sebagai The Libertarian Theory. Karena menurut
teori ini, bahwa manusia tidak perlu tergantung kepada kekuasaan (kekuasaan Belanda) dan tidak perlu
dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu merupakan
hak azasi.
2. Pemerintahan
RIS Tahun 1950 dan Pemerintahan Kabinet Parlementer Tahun 1950 – 1957
Pada tanggal 1 Januari 1950
Indonesia memberlakukan UUD - RIS sebagai hasil Konferensi Meja Bundar yang
masih dibawah pengaruh Belanda. Berdasarkan konstitusi Indonesia terpecah
menjadi beberapa negara federal, dan pers masih tetap dalam tekanan. Walaupun
sudah ada jaminan dalam pasal 7 UUD RIS, bahwa: “Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”, akan tetapi peraturan
pelaksanaan terhadap pasal-pasal UUD RIS belum ada. Sementara pasal-pasal karet
“hatzaai artikelen” KUHP dan Presbreidel-ordonantie 1931 masih tetap
berlaku. Dalam batas-batas hukum tersebut, pers Indonesia masih tetap melakukan
fungsinya, namun tidak lagi semata-mata mengobarkan semangat perjuangan, tetapi
sudah melaksanakan fungsi “social control”
terhadap kekuasaan.
UUD RIS yang hanya berlaku satu
tahun ini, kemudian diganti dengan UUD Sementara dengan Sistem Pemerintahan
Parlementer yang liberal, mengadopsi sistem pemerintahan negara-negara Anglo
Saxon. Perkembangan kebebasan pers pada era dapat dikatakan dalam masa yang
sangat baik, termasuk perkembangan fisik. Pada tahun 1950 – 1953, surat kabar
berkembang menjadi 75 penerbitan dengan oplah 630.000 eksemplar. Pada saat ini
mulai terbit surat kabar partai politik dan surat kabar partisan. Satu tonggak
sejarah bagi kebebasan pers pada era Kabinet Parlementer ini adalah dicabutnya Presbreidel-ordonantie - 1931 dengan UU
No. 23 Tahun 1954, karena bertentangan dengan pasal 19 juncto 33 UUD Sementara RI.
Dari sisi pemerintahan, selama
Kabinet Palementer telah terjadi enam kali pergantian Kabinet, kondisi ini
merupakan lahan bagi pers Indonesia dalam mereguk kebebasannya. Pers dengan
mudahnya memberikan pandangan, opini
maupun kritik tajam terhadap kekuasaan. Bahkan muncul opini di kalangan elit
politik saat itu, bahwa pers merupakan salah satu faktor penting dalam setiap
pergantian kabinet. Disamping berhadapan dengan parlemen dan kabinet,
dikalangan pers tidak jarang terjadi polemik, terutama antara surat kabar
partai/partisan yang memerintah dengan surat kabar yang menempatkan diri
sebagai oposisi. Karena “........ masing-masing media atau institusi pers
tersebut memiliki ikatan primordial atau ikatan ideologis dengan partai-partai
tertentu. Dan keterlibatan pers -- seperti kelompok masyarakat lainnya – dalam
kehidupan kenegaraan, bukan dalam konteks partisipasi yang demokrtis, akan
tetapi partisipasi yang oligarkis[11]. Salah satu tajuk surat kabar Times yang ditulis Muchtar Lubis
sebagaimana dikutip Smith menggambarkan hal ini, bahwa: “Demonstrasi-demonstrasi
massa .... dan tajuk-tajuk rencana di kebanyakan suratkabar Indonesia, yang
menuntut pembubaran parlemen, merupakan gejala khas tentang buruknya reputasi
yang dimiliki parlemen sekarang. Ini dengan tajam menggambarkan krisis yang
dewasa ini kita alami, krisis kepemimpinan[12].
Dalam hal peranan pers menjatuhkan kabinet, tergambar dari ungkapan Hanna
sebagaimana dikutip Smith bahwa: “Pemimpin Redaksi Muchtar Lubis mempunyai
saham yang besar dalam menjatuhkan kabinet”[13].
Pers sebagai lembaga social control yang legal terhadap
kekuasan amat berfungsi dalam menjaga penguasa agar tidak menyalahgunakan atau
melanggar batas-batas kekuasaan. Sistem pers Libertarian, yang kadangkala mengarah kepada trial by the press secara bertahap telah menggiring pers untuk berhadap-hadapan
dengan negara. Hal ini pada suatu
saat akan menyebabkan negara mempertajam kukunya untuk mengambil tindakan tegas
terhadap pers.
3. Era Pemerintahan Otoriter 1957 – 1965
Pada tanggal 14 Maret 1957
Presiden Soekarno mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya (SOB) yang berlaku bagi seluruh Indonesia, sehubungan dengan
pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi. Pada bulan Juli 1957
Soekarno mengumu*mkan Kabinet Juanda dan menetapkan Manipol Usdek sebagai Haluan Negara. Sistem
pemerintahan yang demokratis yang dikatakan Soekarno sebagai Pemerintahan Demokrasi Terpimpin”, ternyata telah menempatkan
Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter. Kedudukan serta fungsi pers diarahkan
penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi Terpimpin dan suara-suara pers
yang bernada melawan harus dibungkam. Berbagai batasan dilakukan penguasa
terhadap kemerdekaan pers termasuk diantaranya melakukan sensor atas infromasi
ke luar negeri. Jack Russel,
koresponden United Press dikecam
penguasa, karena United Press
mengkritik Sukarno sebagai pimpinan otoriter yang semakin dekat dengan Komunis.
Selama tahun 1957, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap tindakan anti
pers oleh penguasa; yang secara keseluruhan mencapai 125 kali tindakan
pembatasan kebebasan pers.
Pada tahun 1958 Penguasa Perang
Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan ketentuan bahwa seluruh penerbitan
surat kabar dan majalah wajib mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk
memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Tanggal 1 Oktober 1858, dapat dikatakan
sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat
terbit, akan tetapi harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT
dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas. “Sejak 1 Oktober 1958, sejarah
pers Indonesia memasuki periode hitam”, demikian Muchtar Lubis sebagaimana
dikutip Smith[14]. Hal serupa diikuti oleh Penguasa Perang
Tertinggi (Peperti), bahwa seluruh penerbitan suratkabar dan majalah di seluruh
Indonesia wajib memiliki SIT. Pada tahun 1960, secara resmi Menpen
melegalisasikan ketentuan tentang SIT ini dan untuk mendapatkan SIT, semua
penerbitan harus menanda tangani persetujuan atas 19 pasal pernyataan.
Pernyataan tersebut adalah janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan
majalah yang berupa ancaman seandainya mereka diberi SIT. “Hal ini dilakukan
oleh penguasa untuk mempercepat retooling
alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah, sehingga ia dapat
menjadi alat dan pendukung revolusi”[15].
Janji penerbit ini selanjutnya merupakan senjata bagi penguasa dalam melakukan
pembredelan pers yang tidak sepaham dengan kekuasaan. Beberapa suratkabar yang dicabut SIT-nya oleh
Menpen sebagai konsekuensi dari ‘janji’ tersebut, antara lain: Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia,
Star Weekly. Sedangkan Harian Abadi menghentikan
penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani 19 persyaratan tersebut.
Dalam melakukan pembatasan
terhadap kebebasan pers, ketentuan demi ketentuan dikeluarkan penguasa. Salah satunya adalah ketentuan dari
Menpen yang mewajibkan surat kabar di seluruh Indonesia berafiliasi dengan
parpol atau ormas. Menurut ketentuan ini, masing-masing parpol atau ormas hanya
dibenarkan memiliki satu organ resmi, dan surat kabar atau majalah lainnya
harus berafiliasi kepada parpol atau ormas tersebut. Saat itu tidak kurang 80
surat kabar di Indonesia yang dimiliki oleh sembilan parpol, ormas dan Panca
Tunggal (pemerintah). Selanjutnya, Deppen mengeluarkan lagi ketentuan baru,
yaitu bahwa setiap surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu parpol
atau tiga ormas. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak dapat lagi menerbitkan
surat kabar apabila tidak ada partai politik atau ormas yang mendukung. Yang
lebih penting disini adalah bahwa telah terjadi pengingkaran terhadap pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara sebagaimana Dekrit 5 Juli
1959.
Tahun-tahun selanjutnya merupakan
lembaran hitam bagi kebebasan pers Indonesia. Kedekatan Soekarno dengan Komunis
telah menyebabkan tidak hanya pemerintah yang melakukan kontrol terhadap pers,
akan tetapi tidak jarang orang-orang Komunis melakukan teror terhadap wartawan.
Politik dalam negeri semakin jauh dari demokrasi, dan Soekarno semakin sering
menunjukkan sikap yang tidak senang terhadap pers. Salah satu tajuk harian Cina
‘Keug’ sebagaimana dikemukakan Smith
menggambarkan hal itu sebagai berikut: “Cara orang-orang PKI datang dan pergi
ke Istana telah menarik perhatian umum, begitu rupa sehingga timbul kesan bahwa
Bung Karno sekarang lebih dekat pada PKI daripada dengan PNI yang kadang-kadang
dikecamnya karena aliran kapitalis-liberalis yang tampak di dalamnya”[16].
Kebebasan Pers Era Pemerintahan Era Orde Baru
Kebebasan pers periode ini
dikelompokkan atas dua kategori, yaitu (1) Periode Tahun 1966 – 1974 sebagai
Pra Malari (Malapetaka Januari 14 dan 15 Januari 1974), dan (2) Periode 1974 –
1998, Post Malari. Terjadinya pengkategorian ini karena sampai dengan
terjadinya Malari, pers Indonesia dengan bebas dapat melakukan kritik terhadap
kekuasaan, disamping secara struktural terlihat pertumbuhan jumlah penerbittan
pers yang cukup signifikan. Setelah terjadi Malari, rezim Orde Baru mulai melakukan
pembatasan terhadap kebebasan pers, dalam bentuk melakukan pembredelan terhadap
beberapa surat kabar di Jakarta dan beberapa daerah.
1. Pra Malari Tahun 1966 – 1974
Terjadinya pemberontakan Partai
Komunis melalui Gerakan 30 September (G.30S/PKI) pada tahun 1965, merupakan the turning point dari sistem
pemerintahan otoriter dengan Demokrasi Terpimpin. Selama enam bulan, sejak 1
Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966,
adalah masa transisi yang sangat kacau di Indonesia, terutama di pusat
kekuasaan. Di satu pihak secara de facto maupun
de jure Sukarno masih memiliki
kekuasaan yang cukup besar, sementara tuntutan mahasiswa dan rakyat melalui
demonstrasi massa dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tri Tura), yaitu (1) Bubarkan
PKI, (2) Turunkan harga, dan (3) Bubarkan Kabinet 100 Menteri (bentukan Soekarno), semakin berlanjut,
yang menyebabkan sistim pemerintahan tidak berjalan. Angkatan Darat yang sangat
dirugikan oleh pemberontakan Komunis, melakukan berbagai perlawanan terhadap
rezim Soekarno. Dalam membentuk opini publik, pihak Angkatan Darat menerbitkan
surat kabar harian Berita Yudha dengan tugas utama mengumandangkan Pacasilais
dan perjuangan ABRI khususnya TNI AD.
Sementara itu, mahasiswa menerbitkan Harian KAMI dalam memobilisir
gerakan mereka yang terkenal dengan “Gerakan Ganyang PKI”. Sementara itu,
Subandrio sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam kabinet 100 menteri
bentukan Sukarno, memahami betul betapa ampuhnya media massa dalam membentuk
opini. Karena pada akhir 1966 ia memerintahkan sepasukan Cakrabirawa ke
beberapa kantor percetakan surat kabar di Jakarta dan melarang surat kabar tersebut dicetak.
Pada masa transisi ini, ternyata pers di Indonesia tidak saja mengalami tekanan
terhadap content media tetapi juga
mengalami tekanan fisik berupa penyerangan dan intimidasi, sebagaimana halnya
yang pernah dialami pers saat revolusi fisik oleh NICA dan Sekutu.
Setelah Kolonel Soeharto “mengantongi” Surat Perintah 11 Maret
1966, yang memberi kekuasaan untuk mengamankan NKRI yang sedang kacau, merupakan
momentum awal kembalinya pers Indonesia ke alam demokrasi. Langkah pertama yang
diambil Soeharto adalah menyatakan partai Komunis sebagai partai terlarang di Indonesia. Langkah awal membersihkan orang-orang Komunis yang ada
pada penerbitan pers, salah satunya adalah Soeharto memerintahkan penutupan
sementara Kantor Berita Antara, karena menjelang pemberontakan G.30S/PKI kantor
berita ini dikuasai oleh orang-orang komunis. Penutupan Antara yang berlangsung
selama 10 hari, kemudian setelah seluruh karyawan yang terlibat partai Komunis
“dibersihkan”, Antara beroperasi seperti sedia kala. Komitment demokrasi yang
ditunjukkan Soeharto, disambut baik oleh pers Indonesia yang saat itu turut
berjuang menyarakan Tri Tura. Pers saat itu bahu-membahu dengan Angkatan Darat
dan mahasiswa dalam membersihkan partai komunis di Indonesia. “Mulai saat era
ini sebenarnya terjadi ‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah, karena
pemerintah memberikan “kelonggaran dan toleransi – sebagaimana komitment awal
-- terhadap kritikan pers kepada negara itu sendiri”[17].
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers pada era ini, merupakan tonggak sejarah kebebasan pers Indonesia dimana
pada pasal 4 dijamin bahwa: “Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan
pembreidelan”.
Pemerintahan Orde Baru yang
menitik beratkan kepada pembangunan ekonomi, dan modal asing harus masuk
sebanyak-banyaknya ke Indonesia, karena pada awal Orde Baru perekonomian sangat
terpuruk, dan inflasi mencapai 600%. Keamanan dalam negeri menjadi syarat utama
yang diartikulasikan dengan “stabilitas nasional”. Tingkat perekonomian yang
mulai membaik, membawa konsekuensi berkembangnya tindakan korupsi di kalangan
pemerintahan. Sementara itu di kalangan pemerintahan sendiri terjadi
perpecahan. Kondisi demikian merupakan lahan bagi pers Indonesia dalam
melakukan fungsi social control. Salah
satu yang fenomenal adalah dibongkarnya kasus korupsi Pertamina (investigating report) oleh surat kabar
Indonesia Raya pimpinan Muchtar Lubis. Masalah
lain yang menjadi sorotan surat kabar pada era ini antara lain: Menguatnya Posisi Militer Dalam Pemerintaan;
Perbedaan Sosial Yang Semakin Jauh, Perkembangan Ekonomi dan Keadilan Sosial,
Masalah Korupsi, Struktur Kepartaian/ Partai Politik, Masalah Pemilihan Umum,
Modal Asing, Campur Tangan Pemerintah Yang Terlalu Jauh Terhadap Masalah
Kemasyarakatan, Taman Mini Indonesia Indah, Konglomeratisme, Bantuan Luar
Negeri, Merebaknya Invisible Cost, Masalah Pri Dan Non Pri, dan Hubungan Keluarga Presiden Dengan Beberapa
Pengusaha Besar.(Sumber: Togi, 1995)
Keberanian pers dalam membongkar
masalah sosial, masalah pemerintahan/ kekuasaan dan korupsi di kalangan
pemerintah, mengindikasikan bahwa pada era ini pers Indonesia menganut paham Libertarian, yang menempatkan manusia
tidak targantung kepada kekuasaan dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam
mencari kebenaran, karena kebenaran itu sendiri merupakan hak azasi. Kondisi
kebebasan pers yang demikian menyebabkan pers Indonesia dikatakan oleh Togi
sebagai pers populis dan sikap kritis..
“Pers populis dan kritis di Indonesia pernah pula muncul di masa penjajahan
Belanda, selama berkobarnya nasionalisme Indonesia, serta masa revolusi dan
masa mempertahankan kemerdekaan”[18].
Pada tahun 1970, dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1970, Pemerintah mempertegas keberadaan
Dewan Pers yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1967, sebagai
konsekuensi diberlakukannya UU No.11 Tahun 1966. Salah satu wewenang Dewan Pers
adalah: “Memberi pertimbangan kepada Badan/Instansi Pemerintah lainnya, mengenai kebijakan penindakan
terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar UU No.11 Tahun 1966............
{Pasal 3 ayat (3)}.
Keluarnya ketentuan ini mengarah
kepada upaya penguasa untuk mereduksi kebebasan pers, yang saat itu menurut
penguasa “pers Indonesia terlalu bebas”. Hal ini selanjutnya menjadi
kontrovesial dalam implementasi kebebasan pers di Indonesia, karena saran dan
pertimbangan Dewan Pers digunakan penguasa sebagai justifikasi terhadap
berbagai tindakan yang dilakukan dalam menekan kebebasan pers di Indonesia,
walaupun dilakukan dengan mengingkari pasal 4
- UU No.11 Tahun1966 dan pasal 28 UUD 1945.
2. Post Malari
Tahun 1974 – 1998
Peristiwa Malari merupakan
koreksi atas kebijakan politik dan ekonomi terhadap pemerintahan Orde Baru
setelah 12 tahun berkuasa. Kebijakan pintu terbuka terhadap modal asing, yang
saat itu didominasi oleh pengusaha Jepang, telah dapat meningkatkan ekonomi
Indonesia setelah terpuruk selama pemerintahan Orde Lama. Namun demikian, hal
ini ternyata juga membuka kesempatan bagi pejabat pemerintah untuk melakukan
korupsi dan menerima suap terutama dari pengusaha Jepang. Peristiwa Malari
tanggal 14 – 15 Januari 1974, diawali dengan penolakan mahasiswa atas
kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka. Tentang hal ini pada tanggal 29 Desember
1973 surat kabar Pedoman sebagaimana dikutip Togi menulis tajuknya, antara
lain: “...... Kalau dewan-dewan mahasiswa menyatakan menolak kedatangan PM
Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta tanggal 14 sampai 17 Januari nanti, maka
niscaya adalah satu alasan latar belakangnya ialah sikap ‘anti Jepang’ karena
menurut hemat generasi muda, Jepang melalui investasi modalnya menguras
kekayaan dan sumber alam negeri ini, selanjutnya membikin jiwa beberapa pejabat
negara menjadi korup melalui pemberian sogokan, ..........” [19]
Peristiwa Malari dijadikan
sebagai salah satu justifikasi oleh rezim Orde Baru untuk melakukan penekanan
terhadap kebebasan pers di Indonesia. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk
pembredelan surat kabar yang dikenal dengan ‘pembrangusan’,
yaitu mencabut Surat Izin Terbit
sekaligus Surat Izin Cetak yang dikeluarkan
oleh Laksus Pangkopkamtib. Surat kabar yang dibreidel tidak hanya yang
terbit di Ibukota Negara Jakarta, tetapi juga surat kabar penerbitan pers pada
beberapa kota besar lainnya. Beberapa
suratkabar yang dicabut SIT maupun SIC antara lain harian: Nusantara, Kami, Indonesia Raya, The Jakarta Times, Wenang, Pemuda
Indonesia, Pedoman, dan majalah mingguan Ekspres, (Jakarta), harian Suluh
Berita (Surabaya), Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang). Langkah
penguasa selanjutnya adalah memangkas demokrasi secara luas, seperti memberlakukan
wadah tunggal dan fusi terhadap beberapa parpol. Pemerintah mengeluarkan dua
ketentuan berupa Keputusan Menpen tentang pengukuhan PWI dan SPS sebagai
satu-satunya organisasi wartawan dan penerbit pers, serta pengukuhan Serikat
Penerbit Surat Kabar sebagai satu-satunya organisasi percetakan pers.
Walaupun penguasa melakukan
pembatasan terhadap kebebasan pers, akan tetapi di lain pihak, pemerintah dalam
menjalankan programnya sangat sangat diperlukan support dari masyarakat yang saat itu mencuat sebagai “partisipasi
aktif masyarakat dalam pembangunan”. Dengan demikian, peranan media sangat
diperlukan untuk penggalangan massa, sehingga diperlukan kerja sama dengan
pers. Bentuk kerjasama tersebut dimanifestasikan dengan memberikan dukungan
melalui berbagai bantuan dan fasilitas. Namun demikian, bantuan dan fasilitas
yang diberikan diikuti dengan beberapa persyaratan yang tidak boleh dilanggar,
yaitu: (1) Media tidak boleh menyinggung keluarga Suharto; (2) Media tidak
boleh menyinggung Dwi Fungsi ABRI; dan (3) Media tidak boleh menulis hal-hal
yang berkaitan dengan masalah SARA.
Pada awal tahun 1980-an,
pemerintah mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab yang diadopsi dari Social Responsibility Theory of The
Press. Dinegara asalnya, theory ini
muncul atas reaksi terhadap enam tugas pers dari The Libertarian Theori yang sangat bebas dan terlalu terbuka
sehingga kebebasan melupakan etika. Hal ini dikemukakan Komisi Kebebasan Pers
Amerika dalam A Free and Responsibility
Press (1947) dan William E.Hocking dalam bukunya Freedom of the Press: A Framework of
Principle (1947). Walaupun secara umum keduanya menerima keenam
tugas pers menurut teori tradisional (Libertarian),
akan tetapi teori ini “tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan
pelaksana media tentang fungsi itu”[20].
Dalam menerapkan teori ini di
Indonesia, memunculkan permasalahan besar, yaitu adanya perbedaan persepsi
terhadap kedua hal pokok, yaitu tentang “bebas” dan “tanggungjawab”. Bebas
dimaksudkan apakah seperti apa yang dikehendaki kaidah jurnalistik atau seperti
yang dikehendaki pemerintah yang tidak ada standar yang jelas. Demikian pula
halnya dengan “tanggungjawab”. pers harus bertanggungjawab kepada siapa, apakah
kepada masyarakat yang memerlukan informasi secara terbuka atau kepada
pemerintah dengan pendekatan keamanan (security
approach).
Tidak adanya batasan yang jelas
tentang arti kebebasan dan tanggungjawab ini memberikan keleluasaan kepada
penguasa untuk mengeluarkan berbagai aturan hukum dalam mengatur pers.
Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengatur tentang
kehidupan pers, sebagai perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966 dan
Undang-undang No.4 Tahun 1967. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang ini,
pemerintah melalui Menpen juga mengeluarkan seperangkat ketentuan hukum yang
pada intinya amat membatasi kebebasan pers. Salah satu yang paling ditakuti
oleh penerbitan pers saat itu adalah Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984
tentang Ketentuan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP) yang menurut versi
pemerintah merupakan penjabaran atas UU Nomor 21 tahun 1982. Melalui ketentuan
ini Menpen memiliki wewenang yang cukup besar dalam mengendalikan kebebasan
penerbitan pers di Indonesia, yang menurut versi pemerintah dikatakan sebagai
‘pembinaan’ namun demikian dimanifestasikan dengan “pembredelan”, yaitu
mencabut SIUPP penerbitan pers. Pada
umumnya dasar pencabutan SIUPP adalah demi keamanan negara dan demi
kelangsungan pembangunan, walaupun pada kenyataannya penerbitan pers yang
dibredel isinya hanya memberitakan masalah pribadi pejabat atau keluarganya.
Sedangkan beberapa penerbitan pers yang dicabut SIUPP-nya tidak lagi diberi
kesempatan untuk terbit kembali.
Pembatasan kebebasan pers era
ini juga dilakukan dengan “cara-cara lain” seperti “himbauan pejabat
pemerintah” (lebih tepat dikatakan
sebagai larangan) untuk tidak memuat suatu fakta yang menurut pemerintah
menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun menurut kaidah jurnalistik
mempunyai nilai berita yang tinggi. Himbauan dilakukan antara lain melalui chief editors meeting, atau melalui
tilpon oleh pejabat ke dewan redaksi. Hal terakhir ini oleh berbagai pihak
dikatakan sebagai berkembangnya dengan subur ”budaya tilpon” di kalangan
pejabat.
Berbagai tekanan terhadap
kebebasan pers, mengakibat media menjadi lebih pragmatis, kontent media menjadi
mandul, dan lebih euphimisme dalam
melakukan kritik terhadap penguasa. Sebelum memperoleh tegoran dari penguasa
media melalukan self censorship
terlebih dahulu. Pendapat berbagai kalangan tentang kondisi pers pada era Orde
Baru ini antara lain dinyatakan bahwa pers Indonesia “tidak memiliki kebebasan pers sama sekali; pemerintah bertindak
represif terhadap pers; dan pasal 28 UUD 1945 ditafsirkan meyimpang dari esensi
maksudnya dan pers yang telah berhasil dijinakkan penguasa. Kondisi ini
menyebabkan pers “tiarap, menggunakan
jurnalisme kepiting, pemberitaan pers cenderung bergaya euphimisme dalam menyampaikan kritik;
dan pers menjauhi “kawasan terbatas”,
kritik yang disampaikan tidak sesuai dengan kehendak masyarakat agar SIUPP-nya
tidak dicabut penguasa[21].
Pada era ini tidak banyak terjadi pembreidelan, dan setelah peristiwa Malari
hanya tercatat beberapa surat kabar yang dicabut SIT-nya, yaitu Sinar Harapan,. Prioritas, dan majalah Tempo,
Detik serta Editor.
Selama rezim Orde Baru ini,
walaupun industri pers berkembang menjadi konglomerasi pers, akan tetapi dalam
hal kebebasan mengemukakan pendapat sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh
sama sekali.
Kebebasan Pers Era Reformasi
1. Era awal reformasi (1998 – 1999)
Gerakan refromasi yang terjadi
pertengahan Mei 1998, merupakan titik balik dari pemerintahan Orde Baru,
membawa “angin segar” bagi kebebasan pers di Indonesia. Penyerahan kekuasaan
oleh Soeharto kepada Habibie, telah membuka peluang demokrasi yang selama
pemerintahan Orde Baru tidak berporses sebagaimana paham demokrasi itu sendiri.
Pada awal pemerintahannya, Yunus Yosfiah yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Penerangan pada Kabinet Reformasi, mengeluarkan serangkaian kebijakan yang
membuka ‘kran’ kebebasan pers, yaitu dengan mencabut berbagai ketentuan hukum
yang selama rezim Orde Baru dianggap membelenggu kebebasan pers, terutama: (1)
Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUP); dan (2) SK. Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 Tentang
Prosedur dan Persyaratan Untuk Mendapatkan SIUPP
Kebijakan tersebut telah membuka
peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan kehidupan pers nasional secara
bebas, tidak saja dalam menumbuhkan penerbitan secara horizontal tetapi juga
memberi kebebasan dalam melaksanakan fungsi kontrol sosial. Jumlah penerbitan
pers meningkat dengan cepat, sampai 15 April 1999, Deppen sudah mengeluarkan
852 SIUPP baru, dan sampai dengan akhir tahun 2001 penerbitan pers di Indonesia
diperkirakan sudah mencapai 1800 - 2000. Wilayah penerbitan pers juga semakin
meluas, tidak hanya terpusat di ibukota
negara dan kota propinsi, tetapi sudah sampai ke kota kabupaten, bahkan kota kecamatan
juga memiliki surat kabar
Di bidang kontent media,
kebebasan pers pada awal reformasi ini berada dalam kondisi euphoria, yang ditunjukkan “...... dalam isi, gaya pemberitaan
serta cara-cara memperoleh informasi yang berbeda dengan masa Orde Baru. Berbagai
batas wilayah pemberitaan, yang masa Orde Baru dianggap tabu dan berbahaya
secara politik, kini seolah-olah sirna diterpa angin kebebasan”[22] Kondisi euphoria
pers ini digambarkan oleh Jalaluddin Rakhmat “........ seperti kuda lepas
dari kandangnya, pers Indonesia meloncat-loncat, berlari tanpa arah dan
mendengus kemana saja............. Banyak pengamat mengeluh, pers kini sudah
menceritakan apa saja kecuali yang benar. Bila pada masa Orde Baru pers tidak
bebas dan bertanggungjawab, pers Orde Habibie adalah pers yang bebas tapi
tidak bertanggungjawab”[23]
Euphoria kebebasan pers ini mendapat perhatian dari Presiden B.J
Habibie dan menjadi salah satu topik bahasan dalam rapat kerja antara Deppen
dengan Komisi I DPR. Habibie mengingatkan pers untuk tidak menebarkan benih
disintegrasi. “Saya yakin sepenuhnya tidak satupun di antara kita yang ingin media digunakan
untuk membangkitkan emosi rakyat guna saling menghujat atau saling menjatuhkan
dengan menyebar berita fitnah, atau hal lain yang bertentangan dengan kode etik
jurnalistik[24].
Semenrara itu. Kalangan FKP di Komisi I DPR menilai “......... banyaknya SIUPP
baru yang dikeluarkan Deppen, telah menyebabkan banyak penerbitan pers yang
melanggar kode etik jurnalistik, menjadi provokator bagi tindakan brutal massa
dan mengombang-ambingkan sikap masyarakat.
Begitu asyiknya, pers dianggap oleh para anggota F-KP itu sampai
kebablasan. Salah seorang anggota F-KP DPR yang berasal dari kalangan pers,
Sofyan Lubis, juga memberikan penilaian senada, yang dalam salah satu
pernyataannya mengungkapkan ..... pers yang senang membuat berita yang
memanaskan suasana. “Seperti judul-judul berita yang dibuat cenderung
seram-seram. Bahkan ada kesan penulisnya membuat judulnya dulu, baru mencari
beritanya. Berita ditulis cenderung super bebas sehingga tidak memperhatikan
rambu-rambu kode etik jurnalistik”[25]
Terhadap berbagai tudingan
tersebut, kalangan masyarakat pers mengemukakan berbagai pembelaannya, seperti
yang dikemukakan antara lain oleh: RH.Siregar, Gunawan Muhammad, Rosihan Anwar,
bahkan Menteri Penerangan ikut memberikan pernyataan. Menteri Penerangan
misalnya mengemukakan: ”Kekhawatiran anggota F-KP mengenai kebebasan pers,
merupakan wujud perilaku status quo dan mencerminkan pemikiran Orde Baru yang
harus ditinggalkan di era reformasi
Terhadap statement Habibie, RH.
Siregar mengungkapkan “....... pers tidak bisa dikatakan sebagai penyulut
disintegrasi bangsa. Kalau memang faktanya betul, sumber informasinya kredibel
dan kompeten, saya kira tidak salah Dalam hal ini Gunawan Muhammad juga
mengungkapkan hal yang sama bahwa apa yang terjadi dalam pers Indonesia saat
ini masih dalam batas kewajaran. “Memang ada satu dua pers yang salah dalam
mengartikulasikan kebebasan. Tapi itu tidak banyak”. Sementara iitu wartawan
senior Rosihan Anwar mengingatkan bahwa sejak dibukanya kran kebebasan pers,
makin santer keluhan berbagai pihak atas pemberitaan pers yang semakin bebas.
“Ketika pers menyiarkkan berita mengenai tuntutan mahasiswa yang berdemonstrasi
dan menuntut pemberantasan KKN, adili Suharto, hapuskan Dwifungsi ABRI, ganti
Habibie dan sebagainya, ada pihak yang menghendaki agar kebebasan pers kembali
kendur”[26].
Kendatipun secara politik pers
sudah memperoleh kebebasannya, dalam arti hilangnya kontrol pemerintah, akan
tetapi hambatan non politik berupa tekanan publik/oknum pemerintah masih
dialami oleh pers Indonesia. Sampai dengan April 1999, terdapat sedikitnya 47
kasus intimidasi terhadap jurnalis berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Namun
demikian fenomena lain perlu mendapat perhatian kalangan pers adalah munculnya
tuntutan publik melalui jalur hukum, yang selama era Orde Lama maupun Orde Baru
jarang terjadi. Hal ini mengidikasikan semakin baiknya tingkat literasi publik
terhadap media dalam menggunakan hak hukumnya untuk mengontrol pers. Selama
tahun 2004 paling tidak tercatat lima
kasus delik pers, yakni:
1.
Pimpinan Redaksi Harian Rakyat Merdeka divonis lima
bulan, dengan 10 bulan masa percobaan, dengan tuduhan mencemarkan nama baik dan
melanggar pasal 310 ayat (2) dan pasal 310 ayat (1) KUHP (9 September 2003)
2.
Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman,
divonis enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan dengan tuduhan melanggar
pasal 137 ayat (1) KUHP tentang penyebarluasan penghinaan terhadap Presiden (27
Oktober 2003)
3.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menolak gugatan
Hazmi Tholib terhadap enam media dan dua orang tergugat dari DPRD Jawa Barat.
Penolakan disebabkan penggugat tidak memakai UU 40 Tahun 1999 tentang Pers
sebelum mengajukan gugatan (5 Mei 2004)
4.
Sebanyak 44 mantan anggota DPRD Kota Surakarta periode
1999 – 2004 yang diduga melakukan korupsi Rp.9,8 milyar, melaporkan Harian
Suara Merdeka ke Polisi, karena dianggap menfitnah dan diusulkan untuk dijerat
dengan pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), jo pasal 311 ayat (1) KUHP (28 Agustus
2004).
5.
Pada tanggal 6 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang mengadili kasus gugatan Tommy Winata terhadap Pimpindan Redaksi dan
dua orang wartawan Majalah Tempo, pembacaan vonis ditunda sampai dengan tanggal
16 September 2004. Dalam kasus ini muncul kontroversi dalam penerapan hukum,
Jaksa menuntut dengan pasal 310 KUHP, sedangkan pembela menginginkan digunakan
UU. No,40 Tahun 1999 tentang Pers.
2. Lahirnya Lembaga Kontrol Publik dan Organisasi
Pers
Hilangnya kontrol pemerintah
terhadap pers pada awal reformasi telah menyebabkan pers berada dalam
keadaan euphoria, akan tetapi tidak berarti pers tidak terkontrol sama
sekali karena pada era ini publik tampil mengontrol kebebasan pers. Keluhan
masyarakat terhadap kebebasan pers telah menumbuhkan lembaga masyarakat yang
mengadakan kontrol terhadap kebebasan tersebut. Parni Hadi mengemukakan tentang
perlunya institusi yang melakukan kontrol terhadap pers: “Maraknya penerbitan
pers di era reformasi membutuhkan kontrol dari masyarakat agar tidak
menimbulkan akibat buruk bagi bangsa dan negara. Untuk itu, kontrol masyarakat
terhadap pemberitaan pers perlu dilembagakan”[27].
Lembaga ini tidak hanya beranggotakan unsur-unsur pengusaha, budayawan, dan
teknokrat, akan tetapi juga dari unsur wartawan. Di Surabaya misalnya, pada 5
Maret 1999, lahir Yayasan Lembaga Konsumen Pers (YLKP) yang salah satu unsur
keanggotaannya dengan dari unsur wartawan. “Menurut Direktur Eksekutif YLKP,
Sirikit Syah, lembaga tersebut akan memfungsikan diri sebagai pelindung
konsumen pers atas bahaya yang ditimbulkan oleh pers yang tidak
bertangggungjawab”[28].
Dalam waktu yang relatif singkat, di Indonesia tumbuh berbagai media
watch, dan melalui lembaga ini masyarakat umum dapat ikut aktif melaksanakan
pengawasan terhadap kebebasan pers. Dewan Pers dalam pertemuannya bulan Maret
1999 yang dihadiri juga oleh 18 organisasi pers menyimpullkan: “Keseimbangan
antara kebebasan dan tanggungjawab antara lain didasarkan pada fungsi
pengawasan umum masyarakat (media watch)
di samping pengawasan internal dalam bentuk ombudsman.[29]
Kebijakan lain Pemerintah
Kabinet Reformasi dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan mencabut
SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai
satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri
era wadah tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu
tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik. Walaupun
kehadirannya dapat dipandang sebagai cerminan euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat menjadi ajang
kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan profesionalitas mereka. Terhadap hal
ini Muchtar Lubis, berpendapat bahwa:
“Jika jumlah anggotanya hanya belasan, organisasi itu tidak punya kekuatan
menghadapi perkembangan di masyarakat. ........ kalau pemerintah mau mencoba
menekan kebebasan pers, organisasi semacam ini tidak ada tenaga. Mestinya
mereka bersatu dalam PWI untuk bisa memperjuangkan kepentingan atau membela diri
bila ada ancaman-ancaman kepada pers dari kekuatan yang lebih kuat”[30].
Muchtar Lubis menginginkan adanya satu wadah wartawan yang kuat, utuh, dan
kompak, yang dapat diandalkan dalam memperjuangkan pers nasional. Senada dengan itu, Loeby Loqman mengingatkan
bahwa keberagaman organisasi wartawan tidak perlu terkait dengan tumbuhnya
kekuatan-kekuatan politik baru. “Jika tidak profesional dan cenderung memihak
ke salah satu kelompok, pers yang kritis dan objektif akan sirna”[31]
Kebebasan Pers Indonesia Versi Freedom House
Freedom House adalah satu
organisasi non-profit dan non-partisan yang menyuarakan demokrasi dan kebebasan
ke seluruh dunia. Salah satu program institusi ini adalah melakukan penilaian
atas kebebasan pers global, yang telah dipublikasikan secara luas sejak tahun
1972. Kategori umum yang digunakan dalam melakukan penilaian kebebasan pers
pada setiap negara pada tahun 2005 adalah Artocle
19 of Universal Declarationsof Human Rigths: Everyone has the rights to freedom of opinion and expression; this
rughts includes freedom to hold opinions without interference and to seek,
receive, and impart information and ideas through any media regardless of
frontiers”[32]
Tingkat kebebasan
dari kebebasan pers pada setiap negara dikategorikan atas tiga hal, yaitu:
1. Lingkungan hukum berkaitan dengan peraturan yang dapat mempengaruhi pemberitaan media
massa seperti kecenderungan pemerintah yang menggunakan hukum dan
lembaga-lembaga hukum untuk membatasi media.
2. Lingkungan Politik adalah tingkat kontrol politik pada pemberitaan media massa. Termasuk
dalam kategori ini misalnya independensi editorial media milik swasta dan milik
pemerintah, akses terhadap informasi beserta sumbernya, lembaga sensor dan atau
sensor sendiri, kebebasan reporter memberitakan sesuatu secara bebas tanpa gangguan,
intimidasi terhadap wartawan oleh negara atau orang lain, termasuk penahanan
sewenang-wenang, penyerangan dan ancaman lainnya.
3.
Lingkungan ekonomi termasuk struktur
pemilikan media, transparansi, konsentrasi kepemilikan, biaya untuk
mengembangkan media seperti biaya produksi, distribusi, pemotongan pajak iklan
atau subsidi dari pemerintah atau swasta, dampak korupsi dan penyuapan, dan
tingkat situasi ekonomi dari satu negara yang mempengaruhi pengembangan media.
Berdasarkan kategori
tersebut tingkat kebebasan pers di Indonesia ternyata mengalami penurunan dari
ranking 117 tahun 2004 menjadi rangking 200 tahun 2005 dengan kategori Partly Free. Hal ini direfleksikan
dengan Political Rights maupun Civil Liberties, yaitu pada rakn 3 untuk Politial Right dan 4 untuk Civil
Liberties. Sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1984, kedua hal ini tidak
mengalami perobahan sama sekali. Bahkan Political
Rights mengalami penurunan sejak tahun 1991 yang mencapai puncaknya sejak
tahun 1994 – 1997. Kecuali pada tahun 1998 mulai ada perubahan, bahkan pada
tahun 1999 terjadi perubahan yang cukup signifikan. Sedangkan Civil Liberties, terlihat adanya
penurunan pada 1985 – 1987 dan tahun 1994 – 1995. Sama dengan Political Rights, Civil Liberties juga
mengalami peningkatan yang signifikan sejak 1998, saat terjadi reformasi dalam
kehidupan politik kenegaraan di Indonesia.
Kesimpulan
Pendapat yang
mengemukakan bahwa “sistem media di satu negara, mencerminkan sistem
pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan” terbukti berlaku pula di
Indonesia. Sistim pemerintah yang mengalami beberapa kali perobahan, amat
berpengaruh terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Kebebasan pers di
Indonesia terlihat lebih mengemuka pada saat pemerintahan sedsang mengalami
krisis, dimana kontrol pemerintah sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali.
Hal ini terlihat pada era Revolusi Fisik, era kabinet parlementer yang
mengalami enam kali pergantian kabinet, dan awal pemerintahan rezim Orde Baru
saat terjadi kekacauan dan perpecahan dalam tubuh pemerintah. Pada era-era krisis pemerintahan ini pers
Indonesia cenderung menganut paham Libertarian.
Pada saat sistem
pemerintahan dalam keadaan mapan, penguasa akan mereduksi bahkan menghilangkan
kebebasan pers secara struktural. Pembatasan kebebasan pers dilakukan penguasa
melalui berbagai cara, termasuk dengan berbagai peraturan perundangan. Hal ini
terjadi pada era Demokrasi Terpimpin oleh rezim Orde Lama dan 20 tahun
menjelang reformasi oleh rezim Orde Baru. Pada kedua era ini, pers Indonesia
terkungkung dalam paham Authoritarian
Kebebasan pers yang
terjadi pada era reformasi adalah kebebasan struktural seiring dengan perobahan
sistem pemerintahan. Perobahan sistem pemerintahan itu, sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini
cenderung menganut paham Libertarian.
Freedom House yang melakukan
rating penilaian terhadap kebebasan pers global, sampai saat ini masih
menempatkan kebebasan pers indonesia pada posisi Partly Free”. Hal ini ditunjukkan dengan ranking Political Rights, Civil Liberties yang
mempengaruhi kebebasan pers di Indonesia.
Tabel 1
Tuduhan Terhadap Pers
1. Mei – Desember 1952
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Tuduhan atau alasan tidak
jelas
|
1
|
Pelanggaran KUHP
|
5
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
5
|
Macam-macam
|
1
|
Pemuatan berita tanpa izin
|
1
|
Penolakan menyebut sumber
berita
|
1
|
2. Tahun 1954
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Membocorkan rahasaia negara
|
1
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
1
|
Macam-macam
|
3
|
Penolakan menyebut sumber berita
|
2
|
Cenderung mengganggu keamanan
dan ketertiban
|
1
|
3. Tahun 1955
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pelanggaran KUHP
|
1
|
Pemuatan Berita Tidak Benar
|
7
|
Macam-macam
|
4
|
Cenderung mengganggu keamanan
dan ketertiban
|
1
|
4. Tahun 1956
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pengecaman Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
2
|
Pemuatan Berita Tidak Benar
|
4
|
Macam-macam
|
18
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
8
|
5. Tahun 1957
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pengecaman Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
6
|
Pemuatan Berita Tidak Benar
|
5
|
Macam-macam
|
30
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
9
|
Tuduhan atau alasan tidak
diberikan
|
12
|
Berita tidak bersumber resmi
|
13
|
Pemuatan berita tanpa izin
|
15
|
Cenderung menggangu keamanan
dan ketertiban
|
35
|
5. Tahun 1958
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pengecaman Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
3
|
Pemuatan Berita Tidak Benar
|
7
|
Macam-macam
|
34
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
5
|
Tuduhan atau alasan tidak
diberikan
|
12
|
Berita tidak bersumber resmi
|
3
|
Pemuatan berita tanpa izin
|
12
|
Cenderung menggangu keamanan
dan ketertiban
|
35
|
6. Tahun 1959
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pengecaman Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
4
|
Pemuatan Berita Tidak Benar
|
7
|
Macam-macam
|
8
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
3
|
Tuduhan atau alasan tidak
diberikan
|
7
|
Pemuatan berita tanpa izin
|
23
|
Cenderung menggangu keamanan
dan ketertiban
|
21
|
7. Tahun 1960
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pengecaman Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
2
|
Pemuatan Berita Tidak Benar
|
4
|
Macam-macam
|
30
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
9
|
Tuduhan atau alasan tidak
diberikan
|
4
|
Pemuatan berita tanpa izin
|
2
|
Cenderung menggangu keamanan
dan ketertiban
|
42
|
8. Tahun 1961
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pengecaman Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
7
|
Pemuatan Berita Tidak Benar
|
4
|
Macam-macam
|
8
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
3
|
Tuduhan atau alasan tidak
diberikan
|
15
|
Pemuatan berita tanpa izin
|
23
|
Cenderung menggangu keamanan
dan ketertiban
|
21
|
9. Tahun 1962
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pengecaman Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
2
|
Macam-macam
|
10
|
Cenderung menggangu keamanan
dan ketertiban
|
4
|
10. Tahun 1963
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pemuatan Berita Tidak Benar
|
1
|
Macam-macam
|
4
|
Cenderung menggangu keamanan
dan ketertiban
|
1
|
11. Tahun 1964
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Pengecaman Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
1
|
Penghinaan Pemerintah atau
Pejabat Pemerintah
|
1
|
Cenderung menggangu keamanan
dan ketertiban
|
8
|
12. Tahun 1965
|
|
Ikhtisar Tuduhan
|
Jumlah
|
Macam-macam
|
10
|
Sumber: Smith, Edwar C.,1986, Sejarah
Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan), Jakarta, Pustaka Grafitti:: 144
Tabel 2:
Rating Kebebasan Pers Indonesia 1972 – 2005
(Versi Freedom House)
Year
|
Political Rights
|
Civil Liberties
|
Status
|
1972
|
5
|
5
|
PF
|
1973
|
5
|
5
|
PF
|
1974
|
5
|
5
|
PF
|
1975
|
5
|
5
|
PF
|
1976
|
5
|
5
|
PF
|
1977
|
5
|
5
|
PF
|
1978
|
5
|
5
|
PF
|
1979
|
5
|
5
|
PF
|
1980
|
5
|
5
|
PF
|
1981
|
5
|
5
|
PF
|
1983
|
5
|
5
|
PF
|
1983
|
5
|
5
|
PF
|
1984
|
5
|
5
|
PF
|
1985
|
5
|
6
|
PF
|
1986
|
5
|
6
|
PF
|
1987
|
5
|
6
|
PF
|
1988
|
5
|
5
|
PF
|
1989
|
5
|
5
|
PF
|
1990
|
5
|
5
|
PF
|
1991
|
6
|
5
|
PF
|
1992
|
6
|
5
|
PF
|
1993
|
6
|
5
|
PF
|
1994
|
7
|
6
|
PF
|
1995
|
7
|
6
|
PF
|
1996
|
7
|
5
|
PF
|
1997
|
7
|
5
|
PF
|
1998
|
6
|
4
|
PF
|
1999
|
4
|
4
|
PF
|
2000
|
4
|
4
|
PF
|
2001
|
3
|
4
|
PF
|
2002
|
3
|
4
|
PF
|
2003
|
3
|
4
|
PF
|
2004
|
3
|
4
|
PF
|
2005
|
3
|
4
|
PF
|
Notes:
·
Political Rights and Civil
Liberties are measured on a one-to-seven scale, with one representing the
highest degree and seven the lowest.
·
“F”, “PF” and “NF”,
respectively, stand for “Free”, “Partly Free”, and “Not Free”.
·
Ratings fall : between 5.5 to
7.0 is “Not Free”; 3.0 to 5.0 is “Partly Free” and 1.0 to 2.5 is “Free”
(Diolah dari: hhtp://freedomhouse.org)
Daftar Pustaka
Abar,
Akhmad Zaini, 1995; Kisah Pers
Indonesia 1966 – 1974, LkiS, Yogyakarta
|
Anwar,
Rosihan, 1999; ...................19 (5), Maret
|
Jurnal Pers Indonesia, 1999, Nomor 5 Tahun XIX, Maret
|
MacQuail,
Denis, 1989, Teori Komunikasi Massa,
suatu Pengantar (Terjemahan), Jakarta, Airlangga
|
Martin,
1983, et al, Compartative Mass Media
System, Logman Inc, New York
|
Serikat
Penerbit Suratkabar Pusat, 1971, Garis
Besar Perkembangan pers Indonesia, Jakarta
|
Seibert,
Fred S,.et.al, 1073, Four Theories of
The Press, London, University of Illlinois
|
Simanjuntak,
Togi (Editor), 1998, Wartawan Terpasung
– Intervensi Negara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta
|
Smith,
Edwar C, 1986, Sejarah Pembredelan Pers
Di Indonesia, (Terjemahan),
Jakarta, Pustka Grafitti
|
Suranto,
Hanif, et.al, 1999, Pers Indonesia
Pasca Suharto, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Aliansi Jurnalistik
Indonesia, Jakarta
|
www.freedomhouse: Freedom of The Survey The Press 2005,
Survey Methodology
|
* Peneliti pada BP2I Jakarta
[1] MacQuail,
Denis, 1989, Teori Komunikasi Massa,
suatu Pengantar (Terjemahan),
Jakarta, Airlangga: 10
[2] Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (Terjemahan), Jakarta, Pustaka Grafitti:
51.
[3] Anwar, Rosihan dalam Jurnal Pers Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999
[5] Siebert, Fred S,.et.al., 1973, FourTheories Of The Press,London, University Of Illinois, London: 2
[6] Abar, Akhmad Zaini, 1995, Kisah Pers Indonesia
1966 – 1974, LkiS, Yogyakarta, 21.
[7] Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta,
Pustaka Grafitti: 73
[8] Simanjuntak,
Togi (Editor), WartwanTerpasung –
IntervensiNegara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta:
15
[9] Serikat Penerbit Suratkabar Pusat , Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia, Jakarta,
1971: 122.
[10] Siebert, Fred S,.et.al., 1973, FourTheories Of The Press,London,
University Of Illinois, London: 3
[11] Simanjuntak, Togi (Editor), WartawanTerpasung – IntervensiNegara di
Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta: 22
[13] Ibid : 145
[14] Smith, Edwar C.,1986, Sejarah
Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta, Pustaka Grafitti:
178.
[15] Simanjuntak, Togi, 1995, (Editor), WartwaanTerpasung – IntervensiNegara
di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta: 22
[16] Smith, Edwar C.,1986, Sejarah
Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta, Pustaka Grafitti:: 144
[17] Togi Simanjuntak, 1995, (Editor), WartwaanTerpasung – IntervensiNegara di
Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta: 90
[18] Ibid: 77
[19] Ibid: 149
[20] Siebert, Fred S,.et.al., 1973, FourTheories Of The Press,London, University Of Illinois,
London: 74
[21] Dirangkum dari berbagai tulisan dalam Jurnal Pers Indonesia, Nomor 5 Tahun
XIX, Maret 1999
[22] Suranto, Hanif, et.al, 1999, Pers Indonesia Pasca Suharto¸ Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan, Aliansi Jurnalistik Indonesia, Jakarta:2
[23] Ibid: 29
[24] Ibid:30
[25] Ibid:30
[26] Ibid 30
[27]Ibid:34
[28] Ibid: 32
[29] Ibid: 33
No comments:
Post a Comment